Latest News

Thursday, 29 November 2012

Maryam

No.298
Judul : Maryam
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Februari 2012
Tebal : 275 hlm

Setelah tahun lalu masuk sebagai finalis 5 besar Khatulistiwa Literary Award  akhirnya di tahun ini Okky Madasari penulis muda asal Magetan, Jawa Timur berhasil memenangkan anugerah Khatulistiwa Literary Award 2012 dengan novelnya yang berjudul Maryam.

Dewan Juri KLA 2012 memilih Maryam sebagai pemenang dengan pertimbangan sebagai berikut : 

Novel ini berhasil mengangkat masalah kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah dari hiruk-pikuk berita media dan kontroversi di sekitarnya ke tingkat yang berbeda. Ia menjadi kritik terhadap penindasan yang dilakukan pihak yang kuat terhadap yang lemah atas nama agama

( Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award 2012)

Dalam novel ketiganya ini Okky mengangkat kisah Maryam, seorang perempuan penganut Ahmadiyah asal Lombok dengan kisah cintanya termasuk diskriminasi dan penderitaan yang dialami keluarganya karena terusir dari kampung halamannya sendiri karena berbeda keyakinan

Di novel ini dikisahkan bagaimana sebenarnya pengikut Ahmadiyah yang diwakili oleh keluarga Maryam sebenarnya telah sejak lama berbaur dengan masyarakat, hidup berdampingan dengan kaum muslim lainnya tiba-tiba saja menjadi kaum yang terusir sehingga mereka  harus meninggalkan rumah yang telah mereka miliki selama puluhan tahun.

Sejak kecil sebenarnya Maryam mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda antara kepercayaan yang dianut keluarganya dengan kaum muslim umumnya. Ia menyadari bahwa kaumnya memiliki masjid sendiri dan pengajian sendiri yang secara rutin dilakukan oleh kaum Ahmadiyah.

Ketika beranjak dewasa Maryam semakin menyadari keeksklusifan kaumnya setelah ia menerima wejangan bahwa kelak ia harus menikah dengan sesama kaum Ahmadi. Awalnya hal itu bukan masalah bagi Maryam karena ia memang sedang menjalin hubungan dengan Gamal, yang juga penganut Ahmadi, sayangnya kisah cintanya kandas setelah kekasihnya ini berpindah keyakinan dan menyatakan bahwa segala sesuatu yang diyakini oleh keluarga mereka adalah sesat.

Putus dari Gamal tak membuat Maryam terpuruk, ia melanjutkan hidupnya, lulus sekolah ia bekerja di Jakarta dan memiliki karir yang cukup baik. Ia memiliki kekasih yang baru, Alam,  yang bukan seorang Ahmadi. Hubungan ini tentu saja tidak direstui oleh kedua orang tuanya. Namun Maryam tidak peduli, ia memilih jalan hidupnya sendiri. Maryam meninggalkan keluarganya. Keluarga Alam sendiri tidak keberatan kalau anaknya menikah dengan Maryam dengan syarat Maryam bersedia menginggalkan keyakinannya.

Maryam akhirnya memilih meninggalkan keyakinannya agar dapat menikah dengan Alam, sayangnya pernikahan ini tidak berjalan mulus. Maryam yang tidak kunjung memiliki anak sering dikait-kaitkan oleh mertuanya yang meganggap itu adalah hukuman akibat kepercayaan yang pernah dianutnya. Maryam akhirnya tidak tahan dan memilih bercerai dan  kembali kepada orang tuanya di Lombok.

Sayangnya setiba di kampung halamannya, ia tidak menemukan dimana keluarganya berada karena keluarganya telah diusir oleh penduduk setempat karena keyakinan yang dianutnya. Dimana keluaganya berada? Dengan disertai rasa bersalahnya karena selama ini ia telah meninggalkan keluarganya  Maryam bertekad untuk mencari dimana keluarganya berada.

Novel ini merupakan karya ketiga dari Oky Madasari setelah Entrok dan 86. Seperti kedua novel sebelumnya novel ketiga ini mengangkat realitas sosial yang hidup di masyarakat kecil yang tertindas. Dalam Maryam Okky dengan berani mengangkat tema sensitif tentang perbedaan keyakinan yang beberapa tahun belakangan ini menjadi sorotan pemberitaan media yaitu soal kekerasan yang menimpa kaum Ahmadiya.

Untuk menguatkan kisahnya kabarnya penulis melakukan  riset mendalam selama 6 bulan di Lombok termasuk mendatangi lokasi pengungsian kaum Ahmadiyah di Gedung Transito dan wawancara dengan orang-orang Ahmadi yang rumahnya dirusak massa.

Berdasarkan risetnya inilah Okky berhasil menulis novel Maryam  plus CD yang berisi lagu-lagu karyanya sendiri. Karenanya tak heran novel ini tampak begitu membumi, ditulis dengan kalimat-kalimat sederhana tanpa harus kehilangan esensi dari apa yang hendak diangkat penulisnya. Okky juga berhasil mengetengahkan  karakter dan perasaan Maryam secara kuat melalui  kisah cintanya, pengorbanannya, dan konflik yang dihadapinya karena perbedaan keyakinan. Sayangnya Okky tampak kurang mendramatisir beberapa peristiwa yang sesungguhnya bisa membuat novel ini lebih dramatik lagi sehingga dapat meninggalkan kesan yang lebih mendalam lagi bagi pembacanya. 

Novel ini tidak menjelaskan apa itu Ahmadiyah dengan ajarannya namun ia mengangkat sisi manusiawi dari kaum Ahmadiyah yang meruapakan salah satu kaum yang terpinggirkan dan kerap mengalami aniaya baik secara sosial maupun fisik. Novel yang dibungkus dalam kisah personal tentang cinta dan hubungan Maryam dengan keluarganya ini membuka mata hati kita tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang memiliki lambang burung Garuda yang gagah yang sedang mencengkram semboyan "Bhineka Tunggal Ika"

Sumbangan terbesar novel ini pada kita semua adalah bagaimana melalui novel ini kita dapat melihat sisi manusiawi kaum Ahmadiyah dari sudut pandang para Ahmadi yang walaupun dikucilkan, bahkan dianiaya sedemikian rupa namun mereka tetap memegang teguh kepercayaan mereka. Dengan bijak Okky tidak menyimpulkan benar atau salahnya ajaran ini, novel ini juga bukan novel pembelaan terhadap kaum Ahmadiyah melainkan novel yang yang membuat pembacanya melihat sisi lain dari apa yang sering kita baca dan saksikan di berbagai media tentang Ahmadiyah.

Melalui novel ini Okky seakan hendak menyuarakan kaum yang selama ini tidak mampu bersuara karena dianggap sesat sehingga keadilan bukan hak mereka. Bukan menyuarakan ajaran mereka melainkan menyuarakan ketidakadilan dan derita dari mereka yang tertindas . Tidak hanya bagi kaum Ahmadiyah melainkan bagi mereka yang tersisihkan karena perbedaan keyakinan.

Sebagai sebuah novel yang mengangkat tema ketidakadilan novel ini ditutup dengan sebuah surat permohonan yang menggugah yang ditulis Maryam untuk para penguasa 



"Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram. Kami hanya mohon keadilan. Sampai kapan kami harus menunggu?" 

(hlm 274-275)


Okky Madasari, pemenang KLA 2012 kategori Prosa saat memberikan sambutan di malam Anugerah Khatlusitiwa Literary Award ke 12 2011-2012 di Plaza Senayan, 29 November 2012

 Foto : Twit @RichardOh http://mypict.me/index.php?id=348299958

@htanzil

Tuesday, 27 November 2012

Tintin dan Alpha-Art

Judul : Tintin dan Alpha Art
Penulis : Herge
Penerjemah : Anastasia W. Mustika & Donna Widjajanto
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Februari 2009
Tebal : 64 hlm ; 22 cm

Tintin dan Alpha Art (Tintin et l'alph-art) adalah buku terakhir dari seri Petualangan Tintin. Sayangnya kisah ini tak tuntas diselesaikan oleh Herge. Ketika komik ini masih dalam bentuk sketsa dan narasinya sendiri masih belum selesai, Herge keburu meninggal dunia di tahun 1983 akibat penyakit yang dideritanya.

Pada tahun 1986 atas permintaan para penggemarnya, Fanny Remi (istri Herg�) bersama penerbit Casterman dan La Fondation Herge akhirnya menerbitkan Tintin et l'alph-art dalam bentuk apa adanya berupa sketsa dan narasi ala kadarnya. Persis sebagaimana yang Herge tinggalkan sebelum wafat. Hal ini sesuai dengan amanat Herge bahwa Tintin tak boleh diselesaikan tanpa dirinya. Kemudian dalam rangka memperingati ulang tahun ke-75 Tintin pada tahun 2004, menerbitkan ulang Tintin et l'alph-artdengan menambahkan beberapa material tambahan yang baru ditemukan di tahun-tahun belakangan.

Di Indonesia sendiri, baru kali ini Tintin dan Alpha Art diterjemahkan. Langkah Gramedia selaku pemegang hak cipta Tintin untuk menerbitkan ulang seluruh kisah petualangan Tintin termasuk cepat. Belum genap setahun sejak diterbitkannya Tintin di Soviet pada April 2004, Gramedia kini telah menuntaskan kerjanya dengan menerbitkan judul ke 24, Tintin dan Alpha Art. Dengan demikian lebih dari 20 tahun semenjak Tintin hadir di Indonesia baru kali inilah seluruh kisah petualangan Tintin dapat dinikmati secara lengkap.

Dalam kisah terakhirnya ini Tintin terlibat dalam petualangan yang melibatkan seni. Alpha Art sendiri adalah gerakan kreasi seni yang berdasarkan huruf-huruf alphabet. Dikisahkan karya-karya seniman Alpha Art, Ramosh Nash saat itu sedang dipamerkan di sebuah Galeri milik Henri Fourcart. Melalui telepon Tintin secara langsung diundang oleh Foucart untuk menemuinya di galerinya. Namun pertemuan itu tak pernah terjadi karena Foucart tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Naluri Tintin mengatakan bahwa ada yang tidak wajar dalam kematian Foucart. Ketika meninjau lokasi kejadian kecelakaan, tiba-tiba Tintin diserang oleh beberapa penjahat. Kejadian ini membuat Tintin semakin curiga dan memutuskan untuk mengungkap ada apa dibalik tewasnya Fourcart. Kelak akan terungkap bahwa pembunuhan ini terkait juga dengan pemalsuan karya-karya seni.


Seperti yang diungkap di paragraf awal tulisan ini, kisah Tintin ini memang tak tuntas dan masih berupa sketsa kasar. Demikian juga dengan edisi terjemahannya yang tampaknya dibuat berdasarkan edisi Casterman terbitan tahun 2004. Selain soal ukuran yang lebih kecil dibanding edisi aslinya, semua lay out dalam versi Gramedia ini sama persis dengan edisi Casterman 2004 dimana di satu sisi menampilkan script dialog dan narasi yang tersaji seperti pada naskah drama, sementara di sisi yang lain ditampilkan goresan asli dari halaman-halaman sketsa yang dibuat oleh Herge.

Kadang halaman sktesa asli itu tersaji dalam ukuran kecil yang ditempatkan secara dinamis, namun ada juga beberapa sketsa yang tampil satu halaman penuh. Beberapa sketsa yg ingin ditonjolkan tampak diperbesar dan disajikan secara artistik sehingga pembaca bisa melihat dengan jelas coretan-coretan Herge yang mungkin tak terlihat secara jelas di bagian halaman sketsa yang kecil.

Herge sendiri hanya sempat membuat 42 halaman sktesa yang telah memiliki alur cerita, dari ke 42 halaman sketsa itu hanya tiga halaman pertama saja yang telah agak halus dan mungkin sudah 90% selesai. Sisanya masih berupa sketsa kasar seperti yang terdapat di cover komik ini dimana Tintin hanya digambarkan bermuka bulat, hidung pentul dan jambul, atau Kapten Haddock yang digambarkan bermuka bulat, hidung besar, jenggot dan rambut yang kasar.




Sketsa terakhir Herge (Tintin & Alpha Art)





Namun selain ke 42 halaman sktesa inti, ada pula 9 halaman tambahan yang tak kalah menariknya karena setidaknya dapat memberikan gambaran cerita akhir dari komik ini. Di halaman tambahan ini akan diperoleh informasi antara lain Kapten Haddock yang tampak berubah karena bergaul dengan para seniman, menyukai benda-benda seni, dan mengubah penampilannya layaknya seorang seniman., menyanyi, bermain gitar, dan merubah kediamannya menjadi seperti galeri seni.



Lalu muncul pula musuh bebuyutan Tintin, Rastapopoulus yang berniat menyiram Tintin dengan cairan polyester agar menjadi sebuah karya seni. Yang tak kalah menariknya adalah munculnya kata Sondonesia dibawah sketsa bangunan berundak yang menyerupai candi bodobudur. Mungkinkah yang dimaksud adalah Indonesia ?



Kesemua sketsa pada halaman tambahan tersebut memang tampak tak terususun secara teratur dan membingungkan, jadi pembaca hanya bisa menduga-duga atau berimajinasi sendiri kira-kira seperti apa kelanjutan dan akhir dari petualangan Tintin ini, namun disinilah letak kenikmatan membaca komik ini. Melalui karya terakhir Herge yang masih berupa sketsa ini kita dapat mengetahui bagaimana sang maestro Herge mencoretkan garis-garis awal dari sebuah komik yang indah. Selain itu buku ini juga menawarkan sebuah pengalaman baru dalam membaca dan menginterpretasi sebuah komik yang masih berbentuk sketsa kasar dan belum selesai.

 Bagi penggemar Tintin tentunya akan dibuat penasaran kira-kira seperti apa komik ini jika komik ini selesai dituntaskan. Walau tak pernah mendapat restu dari ahli waris Herge untuk melanjutkan komik ini beberapa penulis mencoba untuk menuntaskannya dengan gaya yang serupa dengan Herge. Hingga kini sudah ada 3 versi Tintin dan alpha Art yaitu Yves Rodier's version, 1995  R�gric's version, 1996. �ditions Ramo Nash's version, 198??

Berikut adalah Tintin et L'Alph Art versi Yves Roider's





@htanzil

*) Posting ini merupakan re-posting dari postingan saya tahun 2009 yang lalu dengan sedikit tambahan dalam rangka event posting bareng Tintin yang diadakan oleh BBI (Blogger Buku Indonesia)

Tags