Latest News

Monday, 29 April 2013

Merupa Buku by Koskow


No : 307
Judul : Merupa Buku
Penulis : Koskow
Penerbit : LKiS
Cetakan : I, Mei 2009
Tebal : 247 hlm

 

"Don't judge book by its cover"

Ya, kita tidak dapat menilai bagus tidaknya sebuah buku hanya berdasarkan kaver buku semata namun walaupun demikian kover buku tidak dapat diabaikan begitu saja terlebih bagi penerbit karena selain dapat mencerminkan isi dari sebuah buku, kaver buku juga berfungsi sebagai salah satu alat marketing yang ampuh untuk memikat calon pembeli.

Apakah fungsi sampul buku hanya sebagai pemikat buku saja? ternyata tidak, lewat buku ini, Koskow (FX. Widyatmoko) yang juga adalah seorang perupa kaver buku mengungkapkan bahwa selain sebagai pemikat, kaver buku juga merupakan sebuah karya seni dimana melaluinya kita dapat melihat peristiwa sosial budaya yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung terekam dalam kaver buku.

Berangkat dari pemikiran seperti itulah penulis menuangkan hasil pengamatannya pada dunia kaver buku  lewat buku ini. Sebuah buku langka karena  inilah satu-satunya buku yang secara khusus membahas mengenai kaver  buku di Indonesia  khususnya yang  membahas kaver-kaver buku yang dihasilkan seniman-seniman Jogya di masa booming lahirnya penerbit-penerbit  alterantif Jogya di tahun 90an hingga awal tahun 2000-an.


Buku ini dibagi menjadi empat bagian utama, 1) fenomena, 2) media, 3) pameran, dan 4) pengalaman. Pada bagian pertama penulis menelisik dunia kaver buku dalam ruang sosial budaya antara lain mengenai peta kekuatan kaver buku penerbit alternatif Yogyakarta di tahun 1990-an yang melibatkan seniman-seniman Yogya dalam menggarap kaver buku. Di bagian ini penulis mencoba mengaitkan seni lukis surealisme Yogyakarta dan kaver buku-buku penerbit alternatif  yang secara tidak langsung telah mengenalkan dan mendekatkan dunia seni rupa kepada publik.

Tidak hanya kaver depan di bagian ini juga penulis membahas mengenai kaver belakang buku yang merupakan ruang beragam kepentingan . Di bagian ini juga disertakan tentang kaver buku sebagai ruang kesenian yang mendobrak kemapanan dan menggerakkan seni sebagai media penyadaran dan menumbuhkan sikap kiris bagis masyarakat luas. Selain itu ada pula  kajian tentang jurnal BALARIUNG (UGM) edisi.34//Th.XVI/2001 yang mengulas maraknya penerbitan buku tahun 1990-an sampai reformasi sebagai tambahan dalam memperluas wawasan perbukuan

Pada bagian media, dikupas mengenai kaver buku sebagai sebuah media komunikasi yaitu desain komunikasi visual dimana dibahas mengenai disiplin kaver buku, seniman kaver buku, ilustrasi dalam buku, dan peran komputer bagi dunia penerbitan dan perancangan kaver buku.  Setelah berkembangnya pemakaian komputer maka penerbit, percetakan, dan perancangan kaver tidak lagi berada dalam satu atap karena desain kover buku bisa diorder kepada para desainer lepas yang mengerjakan desainnya di rumahnya masing-masing. Dengan demikian peran serta masyarakat untuk terlibat dalam dunia penerbitan semakin terbuka luas.

Di bagian ketiga yaitu bagian pameran berisi tulisan-tulisan yang membahas tentang pameran buku yang diselenggarakan IKAPI YOgyakarta pada tahun 2005 dan 2006 dan pameran poster buku penerbit Yogyakarta (2006). Bagian keempat yang merupakan bagaian akhir dari buku ini berisi refleksi, wawancara dengan perupa buku,  dan pengalaman praktis penulis dalam menekuni dunia perancangan kaver buku.

Secara keseluruhan buku ini berhasil mengungkap dunia kaver buku penerbit alternatif Jogya di era 90 hingga awal 2000. Melalui buku ini kita akan mengetahui apa yang melatarbelakangi tumbuhnya industri penerbitan rumahan di Jogya pada masa itu dan bagaimana masuknya nuansa seni dalam kaver buku seperti yang pernah dilakukan penerbit Pustaka Jaya di tahun  1970-an. 

Yang menjadi kelemahan dari buku ini adalah kurang sempurnanya visualisasi dari cover-cover buku yang dibahas. Semua contoh kaver buku dalam buku ini tersaji dalam ukuran yang kecil (3x2 cm) dan tanpa warna sehingga bagi pembaca awam yang belum pernah melihat wujud asli dari kover-kover buku yang dibahas dalam buku ini tentunnya akan kesulitan dalam memahami berbagai ulasan estetis yang disampaikan penulis.

 (visusalisasi kaver buku dalam Merupa Buku)

Mungkin visualisasi yang sangat sederhana dalam buku ini dimaksudkan agar buku ini menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat luas, Buku ini tentnunya akan menjadi sangat mahal jika semua contoh kaver yang dibahas disajikan secara berwarna seperti layaknya buku seni. Jika memang demikian kalaupun dibuat hitam putih alangkah baiknya jika visualisasinya dibuat lebih besar sehingga lebih ramah mata dan pembaca lebih terbantu dalam memahami apa yang dimaksud penulis dalam memaknai kover-kover buku tersebut.

Karena tulisan-tulisan dalam buku ini awalnya dirancang sebagai  artikel di media massa maka terjadi  beberapa pengulangan gambar dan bahasan. Di satu sisi hal ini baik karena pembaca akan selalu diingatkan dengan apa yang telah didapat di bab-bab sebelumnya namun di sisi lain hal ini dapat menimbulkan kebosanan, seandainya penulis merevisi tulisan-tulisannya sehingga tidak terjadi berkali-kali pengulangan gambar dan bahasan tentunya buku ini akan terlihat lebih terstukrtur.

Terlepas dari hal di atas  buku ini mengupas dunia perupaan kaver buku dengan baik. Penulis yang juga seorang seniman kaver buku dengan piawai mengumpulkan fakta-fakta menarik dari dunia penerbitan dan kaver buku, menginvestigasi sepak terjang perancang kaver buku, memetakan aktivitas mereka dan melakukan pembahasan atas kaver-kaver buku yang menarik secara mendetail dari kacamata seorang seniman grafis.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya buku ini akan sangat bermanfaat bagi para pecinta buku, pengamat dunia buku, terlebih bagi mereka yang tertarik pada desain kaver buku dengan segala macam persoalan dan dinamika yang ada di dalamnya.

Selain itu buku ini juga membuka mata kita semua bahwa kaver buku bukanlah sekedar pemikat sebuah buku, namun ada banyak hal yang dapat tersampaikan melaluinya. Melalui buku ini juga akan terungkap bahwa  kaver buku  bukanlah sesuatu yang statis, kaver buku adalah sebuah media yang terus berubah karena beragam faktor seperti trend penulisan, situasi politik, teknologi, selera masyarakat dan sebagainya.

@htanzil

*) Posting Review ini merupakan bagian dalam event Posting Bersama 'Buku tentang Buku'  yang diselenggarakan oleh Blogger Buku Indonesia (BBI) dalam rangka ulang tahun BBI ke-2 13 April.


'Merupa-Buku'---Cetak-500-yang-Kedua-2



 


Sunday, 7 April 2013

Drama Sejarah 1832 by Remy Sylado

Judul : Drama Sejarah 1832
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Nuansa Cendekia.
Cetakan : I, Oktober 2012
Tebal  : 94 hlm

Ada peristiwa sejarah apa di tahun 1832 sehingga sastrawan Remy Sylado menulis naskah drama yang kemudian dipentaskan dan diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Drama Sejarah 1832?

Jika kita kaitkan dengan sejarah kehidupan Pangeran Diponegoro, 1832 adalah tahun dimana Sang Pangeran beserta istri diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke bentang Fort Amsterdam - Manado, sementara pengikutnya bersama Kyai Mojo ditawan di Tondano.  

Tentunya akan timbul pertanyaan mengapa Remy Sylado mengangkat episode kehidupan Diponegoro di pengasingan dalam dramanya? Mengapa bukan kisah kepahlawanan Diponegoro ditengah berkecamuknya perang Jawa (1825-1830) yang dipentaskan, atau peristiwa tertangkapnya Diponegoro yang menginspirasi Raden Saleh untuk menuangkannya dalam lukisan legendarisnya?  Mengapa yang ditulis Remy adalah peristiwa ketika Diponegoro telah kalah dan diasingkan?

Tampaknya Remy yang juga telah menulis novel Pangeran Diponegoro : Menggagas Ratu Adil (Penerbit Tiga Serangkai, 2007) melihat ada satu hal yang penting dan menarik disaat Diponegoro berada dalam pengasingan di Manado pada tahun 1832. Di tahun itu ia melihat peristiwa  yang menarik dimana saat Diponegoro dan pengikutnya berada di Manado terjadi perlintasan kebudayaan yang unik dari dua latar keyakinan Kristen dan Islam di atas latar agama suku yang saat itu dianut masyarakat Minahasa yang berlangsung secara damai dan mesra. Bagi Remy peristiwa di tahun 1832 itu adalah cermin ideal keberagaman dalam kerukunan sejati. Itulah yang menjadi alasan utamanya menulis naskah drama ini.

Pementasan Drama Sejarah 1832, di TIM (30-31 Okt 2012)
Pangeran Diponegoro diperankan oleh Jose Rizal Manua


Drama Sejarah 1832 yang telah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada bulan Oktober 2012  ini  terbagi dalam lima  babak,  dibuka dengan dialog antara Pangeran Diponegoro dengan istrinya, Ratnaningsih yang saat itu sedang hamil di pengasingannya di benteng Fort Amsterdam, Manado. Dikisahkan pada saat itu sang Pangeran mendapat firasat bahwa anak yang masih dalam kandungan istrinya itu kelak akan mendapat ancaman dari pemerintah kolonial, karenanya jika nanti Menadurahman, anaknya telah lahir Diponegoro berencana untuk menitipkannya pada Kyai Mojo, pengikut setianya di Tondano.

Diponegoro :
...Menurutku, dengan dibuangnya aku ke Makassar, pasti ada udang di balik batu yang dijalankan Belanda terhdap diriku. Makanya kakau itu terjadi, aku ingin Menadurahman terhindar dari hal-hal buruk itu.


Di Fort Amsterdam ini pula Pangeran Diponegoro diperkenalkan oleh Residen Daniel Francois Pietermaat  pada Johan Frederich Riedel (1798-1860) seorang pendeta Jerman yang hendak menyebarkan agama Kristen di Tondano, tempat dimana Kyai Mojo dan pengikutnya sedang menyebarkan agama Islam. Karena semua memiliki kepentingan yang sama, maka semua tokoh dalam drama ini akan bertemu di Tondano

Selanjutnya kisah akan bergulir ke Tondano, dimana Diponegoro, Ratnaningish, Kyai Mojo, Riedel, Pietermaat, dan istrinya berkumpul dan dalam semangaat kebersamaan secara bergantian digelar  tembang mapacat dalam bahasa Tondano yang dinyanyikan oleh Nyai Kyai Mojo, Barongsai dari Kelenteng di Manado yang didirikan Ni Hu Kong, dan nyanyian Halelujah Chorus karya  Goerge Friederic Handel dinyanyikan oleh orang-orang Tondano.

Walau kisahnya tampak sederhana namun, drama 1832 menjadi sangat menarik karena kekuatan dialog antar tokoh-tokohnya. Dari dialog yang tersaji secara utuh dalam buku ini kita akan melihat karakter dari masing-masing tokoh apa adanya. Jadi semua tokoh dalam drama ini termasuk Pangeran Diponegoro tampak sangat manusiawi sekali  antara lain terungkapnya sang Pengeran yang selama ini dikenal karena keheroikannya melawan Belanda ternyata adalah seorang peminum yang sangat suka anggur putih yang oleh masyarakat Manando dikenal dengan minuman �cap tikus�  

Lewat dialog-dialog dalam drama ini juga penulis mengajak kita berpikir secara kritis dalam berbagai hal.  Di buku ini  akan melihat bagaimana penguasa kolonial memandang rendah pribumi namun tidak hanya itu, ada juga sindirian bagi raja-raja pribumi yang memiliki istri banyak terungkap saat Residen Pietermann berdialog dengan istrinya

Nyonya Petermaat
Tadi kau bilang (pribumi) seperti kerbau? Sekarang  kau bilang seperti keledai. Lantas kau sendiri seperti apa? Kau seenaknya menghina kemahakasihan Tuhan yang mendesain manusia secara berbeda-beda. Tuhan tidak mencipta manusia pinta semua. Di Belanda juga banyak orang bodohnya

Pietermaat :
O, ya, betul. Tapi orang pribumi yang mengira dirinya pintar, terutama raja-rajanya di antero Nusantara ini, habis energi hanya untuk berpikir punya koleksi puluhan istri. Kau tahu, Schat, orang yang beristri banyak, harus diduga mengalami gangguan di otaknya. di otaknya itu hanya ada gambar vrouelijk gelachtsdel

Lalu masih dalam rangkaian dialog yang sama sang Residen juga mengejek bangsa Hindia yang katanya bangsa Bahari

Pietermaat :
...Kalau pribumi pintar, mereka yang datang ke Eropa, mengarungi samudra, lantas menjajah kita. Buktinya kita yang datang ke sini. Mereka yang menyebut diri bangsa bahari, ternyata tidak menguasai laut mereka sendiri. Boro-boro mengarungi samueder, berebang di got saja mereka tenggelam. 


Soal birokrasi yang menjadi pintu menuju korupsi juga muncul dalam dialog ini

Pietermaat :
�Paling enak menjadi pejabat negeri, bisa mendapat komisi untuk semua izin yang saya tandatangani. Ini toh bukan korupsi. Tapi kalau ini dianggap korupsi, lumrah dilakukan oleh semua pejabat pemerintah sejak VOC. Pintu masuk korupsi dalam pemerintahan adalah birokrasi. Dalam hal ini saya penghulu birokrasi.  

Di dua babak akhir  yang merupakan klimaks dari drama ini dan apa yang menjadi tema sentral drama ini yaitu soal kebersamaan dalam perbedaan kita akan melihat bagaimana keyakinan yang berbeda dimana masing-masing tokohnya memiliki niat yang sama untuk menyebarkan keyakinannya pada masyarakat Minahasa tidak membuat perbedaan ini sebagai sumber perpecahan melainkan sebuah keindahan yang harus dijaga seperti yang diungkapkan  Kyai Mojo

Kyai Mojo :
Jadi, memang, berbicara soal satu Tuhan, Allah yang tunggal, keyakinan kita sama. Keyakinan terhadap hal itu kita sebut �iman�. Tapi dalam berbicara soal cara menemui Allah yang tunggal itu, jalan kita berbeda. Jalan itu adalah agama, agama saya adalah agama saya, agama Anda adalah agama Anda Lakum diinukum wa liya din. Di perbedan itu, kita melihat dua jalan kasatmata, sebagai suatu keindahan. Seyogyanya kita merawat keindahan itu dengan baik dengan tidak memaksakan satu saja jalan. Dua jalan itu pilihan yang baik. Dua jalan itu toh menuju ke satu arah. Itulah keindahan hakiki yang harus sama-sama kita jaga.

Pada intinya naskah sejarah drama 1832 ini adalah sebuah interpretasi sejarah yang dikemas dengan apik. Dialog-dialognya yang ringan ditambah bumbu-bumbu humor membuat drama sejarah ini mudah dipahami oleh siapa saja. Hal ini juga membuat  pesan yang ingin disampaikan penulis mengenai kerukunan keberagamaan di Minahasa yang telah terjadi semenjak beradab yang lampau itu bisa tersampaikan dengan baik sehingga dapat menjadi sebuah rekleksi sekaligus sentilan bagi kita semua dimana kekerasan akibat perbedaan keyakinan kini kerap terjadi di Indonesia yang katanya masyarakatnya ramah dan cinta damai ini.


@htanzil



Tuesday, 2 April 2013

Tidur Berbantal Koran by N. Mursidi

No : 305
Judul : Tidur Berbantal Koran - Kisan Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elexmedia Komputindo
Cetakan : I, 2013
Tebal : 243 hlm


Sebagai seorang yang sangat suka membaca saya  selalu tergelitik ingin tahu apakah orang-orang yang pekerjaannya menjual bahan-bahan bacaan seperti  penjual koran, penjual buku-buku bekas, pramugari toko buku, dll membaca juga apa yang mereka jajakan?  Jika memang demikian tentunya akan banyak sekali manfaat yang mereka peroleh dari apa yang mereka jajakan karena buku, koran, majalah, dll adalah sumber pengetahuan dan ispirasi hidup yang begitu mudah mereka dapatkan hanya dengan cara membacanya. 

Itulah yang dialami N. Mursidi, seorang anak desa yang mencoba membiayai kuliahnya di Jogya dengan cara berjualan koran. Sebelumnya cita-citanya hanyalah bisa kuliah dan memperoleh pekerjaan yang layak. Namun siapa sangka, dari yang tadinya berjualan koran hanya untuk sekedar membiayai hidup dan kuliahnya ternyata dari koran-koran yang ia jajakan itu jalan hidup dan mimpinya berubah. 

Berawal dari seorang tukang becak  yang selalu membeli korannya untuk dibacanya membuat Mursidi tergeragap melihat begitu antusiasnya seorang tukang  yang rela menyisihkan sedikit hasil jerih lelahnya untuk membeli koran dan membacanya dengan tekun. 

�Aku merasa malu pada diriku sendiri. Selama tujuh hari berjualan koran, aku tidak pernah membaca koran yang kujajakan sendiri. Aku seperti tidak peduli dengan apa yang kujual karena yang kuinginkan adalah koranku lalu� Tak pernah aku meluangkan waktu untuk membaca dengan detail isi berita koran yang kujual� (hlm 5-6)

Tergugah oleh apa yang dilakukan tukang becak itu maka iapun tergerak untuk membaca setumpuk koran yang dijualnya. Dari apa yang dibacanya itu Mursidi menemukan sebuah opini yang ditulis mahasisiwa di sebuah rubrik koran yang dijualnya. Dari situ dirinya tersadarka akan  sebuah kenyataan bahwa mahasiswa seperti dirinya bisa menulis di koran apalagi ketika dirinya membaca rubrik resensi di koran Mingggu yang biasanya ditulis oleh para mahasiswa. Saat itulah ia memutuskan untuk bisa menulis di koran.

�Setiap selesai membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus mahasiswa itu, otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas tungku. Ada sekelebat mimpi di dadaku yang memompaku untuk bisa menulis; menorehkan namaku di koran seperti mereka. Maka dalam hati, aku berjanji bahwa suatu saat nanti aku harus bisa menulis di koran.� (hlm 6)

Semenjak itu pula dirinya makin rajin membaca koran  yang dijualnya dan mempelajari tulisan yang dimuat secara koran secara otodidak dan mulailah ritual baru dalam kehidupannya, pagi berjualan koran dan membaca koran setiap ada kesempatan, siang berangkat kuliah, dan malam harinya menulis dengan mesin tik bekas yang dibeli dari temannya. Demi menghasilkan tulisan ia rela memotong waktu tidurnya agar memiliki waktu banyak untuk  menulis dan mencoba mengirimkan tulisan-tulisannya ke sejumlah koran. 


"Waktu itu, aku memang sengaja tidak membeli bantal  agar jam tidurku tidak berkepanjangan. Tak salah, karena di kamar banyak buku, maka buku-bukuku itulah yang kerap kujadikan bantal. Tak jarang, aku pun bahkan memakai alas tumpukan koran sebagai bantal" (hlm 172-173)



Namun tak semudah yang ia bayangkan, ia harus menghadapi banyak tantangan, ada banyak jalan berliku, perjuangan yang tidak mudah, persaingan yang ketat antara sesama penulis, dan ekstra kesabaran yang harus dilakonimya sebelum akhirnya tulisannya dimuat di koran. Dan karena ketekunannya membaca dan menulis secara otodidak pada akhirnya tidak hanya satu dua tulisan yang berhasil dimuat di koran melainkan  ratusan tulisannnya menghiasi berbagai koran lokal dan nasional dan hal ini pula yang akan mengantar dirinya menjadi seorang wartawan dan penulis tetap di sebuah majalah islami terkenal hingga kini.

Semua pengalaman N. Mursidi dari seorang penjual koran menjadi wartawan tersebut tertuang dalam buku memoarnya yang berjudul �Tidur Berbantal Koran�.  Buku ini tersaji dalam 4 bagian besar. Di bagian pertama dikisahkan suka duka penulis berjualan koran di jalanan, bagaimana trik-triknya untuk mendapatkan pembeli, serta bagaimana kerasnya hidup di jalanan dan bagaimana penulis dengan hidup nomaden dengan sepeda Onthelnya

Pengalaman penulis ketika belajar menulis secara otodidak dengan mesin tik bekas di malam hari bagaimana perjuangan penulis agar tulisannya dimuat di koran  tersaji di bagian kedua dan ketiga.  Ada berbagai pengalaman menarik di bagian ini antara lain bagaimana tulisannya menjadi pembungkus nasi yang sedang disantapnya, pengalaman pertama mengirim resensi via email, dan bagaimana pengalaman pahitnya ketika ia diejek teman-temannya  karena terus menerus menerima surat pengembalian resensi dari Kompas.Dan di bagian akhir bagian ketiga ini penulis juga menyuguhkan tips-tips membuat resensi berdasarkan pengalamannya

Di bagian ke empat, yang merupakan bagian akhir dari memoar ini ada bagian yang menyuguhkan tips dan buah manis dari perjuangannya menulis untuk koran seperti tips membaca koran dan menyelami apa yang ada di balik teks, dan kisah bagaimana akhirnya penulis hijrah ke Jakarta dan diterima sebagai wartawan di sebuah majalah Islami terkenal.

Singkatnya lewat memoar yang tersaji dengan menarik dan ditulis dengan jujur dan apa adanya ini akan mendorong pembacanya untuk tidak menyerah dalam menggapai mimpi walau seribu kesulitan dan tantangan menghadang. Buku ini cocok sekali untuk memotivasi para penulis yang sedang mencoba menjajal kemampuan menulisnya dan sedang memimpikan namanya tercetak di koran-koran.

Lewat buku ini pembaca akan diajak menapaki jejak perjuangan penulis dimana awalnya ia begitu sulit menembus koran namun berkat ketekunan dan kerja kerasnya akhirnya si mantan penjual koran ini berhasil menjadi penulis produktif  dimana hingga kini ada sekitar 300an  tulisannya (opini, essai, cerpen, resensi) yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Tak berlebihan rasanya jika harian Jurnal Nasional menyebutnya sebagai "Raja Resensi"

Satu-satunya kritik terhadap buku ini adalah pada label yang diberikan penerbit pada memoar ini. Di cover buku ini tepatnya di atas nama penulisnya tertera tulisan "Sebuah Novel" padahal dalam pendahuluannya penulis dengan jelas menyebutkan bahwa buku ini adalah Memoar. Lalu kenapa menjadi novel? padahal novel dan memoar adalah dua hal yang berbeda. Atau apakah ini novelisasi dari pengalaman penulis? Dalam sebuah kesempatan saya pernah menanyakan langsung pada penulisnya, dan beliau mengatakan bahwa semua yang ditulis dalam buku ini adalah kisah nyata dan tidak ada dramatisasi kisah seperti layaknya sebuah novel  yang diangkat dari kisah nyata. 

Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini? Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.

###

@htanzil

Untuk membaca tulisan2 N. Mursidi silahkan membaca blog bukunya Etalase Buku
Tips-tips menulis resensi buku ala N. Mursidi dapat dibaca di Program Indonesia Menulis sebuah blog "Sekolah Menulis Gratis" yang dibuka untuk umum dan tak dipungut biaya (gratis)

N. Mursidi saat diwawancarai TV One dalam acara "Apa dan Siapa" dengan judul
"Dari Jalanan untuk Masa Depan� yang ditayangkan pada tgl 18 November 2011 bisa dilihat
di sini

Tags