Latest News

Sunday, 28 July 2013

Indonesia X-Files by dr. Abdul Mun'im Idries, Sp.F

[No. 312]
Judul : Indonesia X-Files, Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno Sampai Kematian Munir
Penulis : dr. Abdul Mun'im Idries, Sp.F
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Juni, 2013
Tebal : 334 hlm

[ #RIP  dr. Abdul Mun'im Idries, Sp.F, Jumat (27/9/2013) Pkl.02.32]

Buku  Indonesia X-Files karya pakar forensik Indonesia, dr Abdul Mu'nim Idries, Sp.F yang belum lama terbit ini ini tampaknya langsung menarik perhatian publik. Buku yang untuk pertama kalinya dicetak sebanyak 3000 eks laris manis diburu pembaca dan hanya dalam waktu 10 hari saja penerbit memutuskan untuk mencetak ulang sebanyak sebanyak 4000 eks.

Apa yang membuat buku ini banyak diincar orang?,  judul yang menarik dan nama besar besar penulisnya, dr. Abdul Mun'im Idries yang dikenal sebagai dokter forensik eksentrik yang suka bicara blak-blakan tentunya akan membuat orang menduga bahwa dalam buku inipun dr. Mun'im akan menulis blak-blakan tentang kasus-kasus pembunuhan yang pernah ditanganinya

Seperti yang diduga orang buku ini memang membeberkan fakta-fakta mengejutkan dibalik kasus-kasus pembunuhan misterius di Indonesia yang mungkin selama ini tidak diketahui publik umum seperti kasus kematian Bung Karno, Marsinah, Munir,  Nasrudin, Tragedi Trisakti, Tanjung Priok, dll. Walau tidak semua kasus itu merupakan kasus yang secara langsung ditanganinya secara forensik namun penulis tetap memberi pendapatnya sesuai dengan ilmu yang ia pelajari

Dalam kematian Bung Karno dr. Mu'nim menyetujui pendapat  sebagian orang yang menyimpulkan bahwa Bung Karno dibiarkan meninggal dunia secara pelan-pelan karena selain dalam keadan sakit Sang Proklamator itu terkurung di Wisma Yaso dalam keadaan stress dan depresi.

"Dapat disimpulkan bahwa tindakan pengucilan, perlakuan yang tidak manusiawi serta masalah atensi dan esksistensi serta kondisi kesehatan yang buruk dapat merupakan kondisi yang memungkinkan tewasnya tokoh nasionalis yang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya" (hlm 44)

Jika Bung Karno dibiarkan meninggal perlahan-lahan dalam keadaan terkurung, sakit dan depresi,  lain lagi halnya dengan Marsinah, aktivis buruh  yang nyawanya sengaja dihilangkan dengan cepat pada September 1993. Di buku  ini penulis mengungkap kejanggalan visum et repertum (VR) yang dibuat pembuat oleh dokter yang melakukan VR terhadap jenazah Marsinah,

"..korban meninggal dunia akibat pendarahan dalam rongga perut. Padahal menurut penulis, kejelasan yang seharusnya diutarakan pembuat VR adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan) bukan mekanisme kematian (pendarahan, mati lemas). Karena mekanisme kematiannya pendarahan, itu tidak bisa memberi petunjuk perihal alat atau benda yang menyebabkan korban, yaitu Marsinah tewas." (hlm 28)

Selain itu penulis juga menyanggah penyebab kematian Marinah karena kemaluannya ditusuk oleh balok karena ternyata ternyata barang bukti yang dipakai untuk menusuk kemaluan korban ternyata lebih besar dari ukuran luka yang terdapat dalam tubuh korban. Demkian juga karena kerusakan yang begitu hebat atas kemaluan korban hingga ke tulang kemaluan korban patah berkeping-keping maka penulis menyimpulkan pendapatnya bahwa luka di kemaluan korban bukan karena benda melainkan akibat luka tembak.

"Ketika Trimoelja meminta pendapat tentang kekerasan yang bagaimana yang dapat menimbulkan kerusakan demikian hebat,....... saya sebagai saksi ahli berpendapat : akibat luka tembak" (hlm 31)

Seperti halnya dalam kasus Marsinah dimana penulis mengungkap pendapatnya tentang cara kematian korban, dalam kasus Munir dimana ia diberi tugas untuk menanganinya, dr Mu'nim dengan gamblang menyangkal  laporan yang menyatakan bahwa kematian Munir akibat keracunan arsenik yang dimasukkan dalam jus yang diminumnya di dalam pesawat.

"Menurut saya, hal itu sangat tidak mungkin. Sebab arsenik itu mudah larut di air panas (hangat) bukan air dingin. Tetapi tim yang berangkat membuat skenario  sendiri bahwa arsenik itu dimasukkan ke minuman jus. Itu kan dingin, arsenik akan mengendap, kelihatan. Jadi kalau ingin larut harus di air panas atau hangat. Itu yang dipakai" (hlm87)

Dari kenyataan itu penulis menarik kesimpulan bahwa arsenik tersebut dimasukkan dalam kopi atau teh yang diminum Munir di Coffe Bean saat pesawat transit di Singapura

Dalam membahas kasus Munir ini penulis membeberkan fakta-fakta dan pendapatnya secara detail sehingga dibutuhkan 14 halaman untuk menuliskannya, lebih panjang dari kasus-kasus lain yang dibahasanya. Dalam kasus ini penulis juga mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk membongkar kematian Munir  dimana pertemuan perama dari  tim yang dibentuk Presiden SBY untuk mengungkap kasus ini dipimpin oleh Wakil direktur Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang tidak 'nyambung' dengan kasus pembunuhan.  Selain itu penulis juga mengungkapkan kejanggalan penugasan Pollycarpus (pilot Garuda) yang satu pesawat dengan Munir.

Masih banyak hal menarik yang terungkap dalam buku ini. Khusus dalam pengungkapan  kasus-kasus kontroversial  penulis membeberkan dengan gamblang berdasarkan fakta forensik yang ditemuinya. Walau demikian buku ini  tidak berpotensi menimbulkan kemarahan dari pribadi atau lembaga yang namanya tertulis karena semua  nama dan lembaga yang disebut dalam buku ini ditulis  berdasarkan apa yang telah terungkap di pengadilan. Dalam buku ini penulis hanya mengungkap fakta selebihnya penulis memberi kesempatan  pada pembaca untuk menafsirkan sendiri apa yang tersembunyi dibalik fakta-fakta tersebut.

Tidak hanya menyangkut pembeberan fakta-fakta kasus-kasus kejahatan yang fenomenal yang terdapat di bab pertama, di bab dua penulis  menyuguhkan berbagai hal mengenai dunia forensik seperti bagaimana bedah mayat baik karena pembunuhan maupun kecelakaan, cairan sperma pada tubuh korban perkosaan, dll dapat mengungkap berbagai kasus kejahatan. Selain itu kejahatan narkoba dan kejahatan seksual dan kekerasan terhadap anak juga mendapat bahasan khusus di bab ketiga dan keempat.

Di bab lima dibahas bagaimana peran kedokteran forensik sebagai 'pisau ilmiah'  bagi penegakan hukum dan keadilan. Lalu dijelaskan pula bagaima masyarakat berhak tahu terhadap hasil visum, kapan seorang dinyatakan meninggal dunia, dan bagaimana cara identifikasi massal terhadap korban kerusuhan dan kebakaran. Dan pada bagian terakhir, buku ini menyuguhkan salinan berita- kasus pembunuhan, amukan masa, dan kematian tokoh dari berbagai media massa sebagai pelengkap dari apa yang sudah disajikan di bagian kesatu hingga kelima.

Setelah membaca seluruh tulisan dokter Mu'nim dalam buku ini saya rasa isi buku ini lebih luas dari judulnya. Karena yang benar-benar dikategorikan 'x-file'  hanya ada di bab pertama saja.  sementara kelima bab lainnya lebih merupakan pengungkapan dunia forensik yang tidak kalah menariknya dengan bab pertama.

Yang agak disayangkan pada buku ini adalah tidak adanya pengungkapan atau catatan penulis atas kasus-kasus yang lebih mutakhir dan berskala besar seperti identifiasi korban bom bali I &  II,  jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak Bogor yang tentunya keduanya merupakan kerja 'besar' bagi kedokteran forensik dalam mengidentifikasi korban yang sudah tidak utuh lagi,  atau bagaimana cara kerja kedokteran forensik dalam memastikan identitas para teroris yang tertembak mati dalam operasi Densus 88.

Terlepas dari itu buku ini secara keseluruhan tetap menarik dan menambah wawasan pembacanya. Mencermati berbagai kasus kejahatan yang dibahas secara forensik dalam buku ini kita akan melihat bagaimana dunia kriminalitas, hak asasi manusia, dan kualitas penegakan hukum yang terjadi di Indonesia.

Selain itu bagi mereka yang ingin mengenal lebih banyak tentang dunia dan dinamika dunia forensik, buku ini bisa menjadi rujukan. Walau penulisnya seorang dokter namun jauh dari kesan tulisan ilmiah karena ditulis dengan bahasa yang lugas dan sederhana sehingga dengan membaca buku ini ilmu kedokteran forensik menjadi makin mudah dimengerti bagi pembaca awam.

@htanzil

Tuesday, 2 July 2013

Pasung Jiwa by Okky Madasari



[No.311]
Judul : Pasung Jiwa
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Mei 2013
Tebal : 328 hlm


"Saya berkarya untuk menyuarakan dan menyampaikan apa yang bisa saya lakukan melalui menulis. Saya mau menulis untuk tujuan politis, bukan menulis yang hanya untuk diri saya sendiri tetapi untuk menegakan keadilan bagi kemanusiaan"


Demikian ungkap Okky Madasari yang saya kutip dari www.ourvoice.co.id  sebuah media online beberapa waktu yang lalu. Apa yang diucapkan Okky itu terbukti dengan empat buah karyanya yang telah beredar Etnrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012) yang memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2012, dan terakhir Pasung Jiwa (2013) yang kesemuanya terhubung dalam satu benang merah : perlawanan atas ketidakadilan dan perjuangan untuk kebebasan dan kemanusiaan.

Jika Entrok mengangkat tema  dominasi militer di masa Orde Baru, 86 tentang korupsi, dan Maryam tentang orang-orang yang terusir karena keyakinannya,  maka dalam Pasung Jiwa Okky menangkat tema utma tentang pergulatan manusia dalam mencari kebebasan sejati.

Ada dua tokoh utama dalam novel ini yaitu Sasana (Sasa) dan Jaka (Cak Jak). Sasana terlahir sebagai seorang pria dari pasangan orang tua yang mapan. Walau kedua orang tuanya bukan pemusik mereka menginginkan Sasana untuk menjadi anak yang mahir dalam memainkan piano. Sejak dalam kandungan suara piano telah diperdengarkan untuknya, ketika memasuki usia sekolah  seorang guru didatangkan untuk melatih kemampuan pianonya. Sasana memang akhirnya mahir bermain piano dan mendapat sejumlah penghargaan namun sebenarnya ia tidak menyukai bermain piano.

Aliah-alih mengembangkan bakatnya dalam berpiano Sasana lebih menyukai musik dangdut, tubuh dan jiwanya terasa bebas saat dia mendengar musik dangdut sambil bernyanyi dan meliuk-liukkan tubuhnya. Kesukaannya ini tentu saja dilarang oleh kedua orang tuanya. Karena ia tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya, Sasana tetap  menjadi anak yang patuh dan mengikuti kemauan orang tuanya walau jiwanya merasa terkurung.

"Demi Ibu aku bertekad mengendalikan diri, Aku mengurung jiwa dan pikiranku, Aku membangun tembok tinggi-tinggi, aku mengikat tangan dan kakiku sendiri." 
(hlm 30)

Saat memasuki masa SMA Sasana mulai merasa ada keanehan pada dirinya, berbagai peristiwa kekerasan yang dialaminya di sekolah membuat dia membenci dunia laki-laki yang penuh dengan kekerasan.  Aku pun jadi membenci laki-laki. Membenci diriku sendiri yang jadi bagian laki-laki.   
(hlm 35)

Setelah lulus SMA Sasana melanjutkan kuliahnya di Malang, di sana ia berkenalan dengan Cak Jak (Jaka) di sebuah warung kopi. Cak Jak yang mahir bermain gitar dalam alunan lagu-lagu dangdut membuat Sasana betah nongkrong di warung kopi itu sampai akhirnya Sasana ikut menyanyi dan bergoyang.

Kemarihan Sasana bernyanyi dan bergoyang membuat Cak Jak  mengajak Sasana untuk mengamen. Sasana yang seolah menemukan dunianya menerima ajakan Cak Jak, lambat laun ia mulai meninggalkan kuliah dan tempat kosnya dan menghilang dari jangkauan teman kuliah dan keluarganya di Jakarta. 

Untuk membuat lebih menarik  Cak Jak mendandani Sasana dengan pakaian wanita dan mereka mulai mengamen dan mentas dari satu panggung hajatan ke panggung hajatan lainnya. Dan semenjak itu Sasana merubah namanya menjadi Sasa. Ia menikmati perubahan penampilan dirinya dari seorang pria menjadi wanita sexy dengan goyangan mautnya. Dengan menjadi Sasa ia merasa nyaman dan bebas menjadi apa yang dia inginkan.

Petualangan Sasa dan Cak Jak membawa mereka pada berbagai perisiwa yang mungkin tidak pernah mereka duga, sebuah peristiwa membuat keduanya ditangkap polisi. Ketika ditangkap dan dipenjara sebagai seorang waria Sasa menerima perlakuan tidak seonoh, ia diperkosa dan dipaksa melayani nafsu bejat dari para tentara dan komandan yang menangkapnya. Sasa begitu terpukul sehingga ketika keluar dari penjara Sasa memutuskan untuk menata hidupnya dan kembali pada kedua orang tuanya. 

Sayangnya kembalinya Sasa pada keluarganya tak berlangsung lama. Jiwanya terus menerus dibayangi rasa sakit dan terhina atas ulah bejat tantara-tentara yang menangkap dan memperkosanya sehingga akhirnya Sasa harus dirawat di rumah sakit gila.  Sasa kembali terkukung, kali ini tidak hanya jiwanya saja melainkan secara fisik dia kembali terpenjara dalam rumah sakit jiwa dengan aturan-atruan yang harus ia patuhi

Bagaimana dengan Jaka (Cak Jak)? selepas dari penjara Cak Jak bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik elektronik,  ketika dirinya  mendapat perlakuan yang tidak adil oleh majikannya ia mengalang aksi mogok kerja sehingga dirinya dikejar-kejar aparat, melarikan diri hingga ke Jakarta dan akhirnya bergabung dalam sebuah laskar berjubah putih untuk ikut berjuang bagi Agama dan Tuhan.

Lewat kedua tokoh utama dalam novel ini Okky benar-benar hendak mengetengahkan sosok yang berjuang untuk memperoleh kebebasan sejati. Sasana atau Sasa adalah tokoh yang semenjak kecil merasa bahwa dirinya terperangkap dalam tubuh prianya dan dia harus melakukan apa yang sebenarnya tidak mau ia lakukan. 

 "Seluruh hidupku adalah perangkap. 
Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orang tuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan . Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengurungku menjadi tembok-tembok tinggi  yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku". 
(hlm  293)

Sementara itu Jaka atau Cak Jak hidupnya selalu terbelenggu oleh kemiskinan, namun setelah ia mengatasi kemiskinannya ternyata itupun tidak membebaskannya karena jiwanya terus dihantui oleh masa lalunya dan keadaannya kelak yang berlawanan seratus delapan puluh derajat

Selain Sasa dan Jaka sebenarnya masih ada tokoh lain yang muncul yaitu seorang pelacur bernama Elis yang memilih menjadi pelacur kelas bawah daripada hidup terkukung bersama suaminya, dan Karlina yang dipecat sebagai buruh karena hamil padahal yang menghamilinya adalah mandornya sendiri. Lewat dialog-dialog antar tokoh maupun dialiog batin dari masing-masing tokohnya novel ini mencoba membangun kesadaran kita semua akan apa artinya kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan

Yang tidak kalah  menarik adalah  ketika Sasa berada di rumah sakit jiwa terjadi dialog tentang jiwa yang bermasalah dan kebebasan menarik antara Sasa dengan seorang psikiater yang saat itu sedang melakukan penelitian.

"Tak ada jiwa yang bermasalah, yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda"
(hlm 146)

"Aku tak melihat ada masalah dalam jiwa-jiwa kalian. Orang-orang diluar kalianlah yang punya masalah. Menganggap kalian harus disingkirkan karena kalian merusak tatanan"

Tempat ini justru membunuh kalian," kata Marsita. 
Bukankah di luar sana juga sama" tanyaku. "Di sini kami dikungkung teralis  dan tembok-tembok tinggi. Di luar sana kami diikat oleh aturan dan moral.
"Setidaknya di luar sana kehendak bebas kalian bisa terus dihidupkan", jawabnya. "Di sini kehendak itu sengaja dimatikan. Agar kalian patuh, agar kalian tak berontak. Akhirnya, lihat hal yang dilakukan Banua dan Gembul. Mereka membunuh diri mereka sendiri. Sebab itu satu-satunya kehendak bebas yang masih bisa mereka ikuti"
(hlm 151)

Tidak hanya itu, lewat kisah para tokohnya novel ini  dengan gamblang mengemukakan berbagai hal tentang ketidakadilan dan kekerasan yang dialami oleh orang-orang yang terpinggirkan baik yang dilakukan aparat negara maupun para laskar berjubah putih yang mengatasnamakan agama dan Tuhan.

Di novel ini terkisahkan bagaimana atas seizin aparat keamanan para laskar berjubah putih melakukan  'operasi'   melawan kemaksiatan dengan cara kekerasan. Dengan berani Okky membeberkan bagaimana polisi memberikan daftar tempat-tempat mana yang boleh menjadi target operasi dan mana yang tidak. Terungkap juga bagaimana di akhir operasinya para laskar berjubah putih itu mabuk-mabukan dengan minuman keras yang mereka sita atau bagaimana mereka melampiaskan nafsu syahwat mereka setelah mereka melakukan operasi terhadap para waria. Selain itu terkisahkan juga sebuah tindakan keji seorang laskar yang dengan sadis mencincang tubuh seorang penganut aliran yang mereka anggap sesat.

Selain itu di novel ini juga Okky dengan cerdas menyelipkan kisah Marsinah seorang buruh yang berjuang melawan ketidakadilan namun harus membayar mahal perjuangannya dengan nyawanya sendiri. Semua yang terungkap dalam novel ini menggedor sisi kemanusiaan kita dan membuat kita gemas terhadap ketidakadilan dan tindak kekerasan yang dikisahkan novel ini.

Novel yang sarat dengan nuansa perlawanan terhadap ketidakadilan, kebebasan, dan kemanusiaan ini sangat baik untuk diapresiasi karena tema yang diangkat sangat  relevan dengan keadaan kini dimana hingga kini masih banyak orang  yang kehilangan kebebasan karena berbagai faktor seperti pandangan agama, sistem sosial, ekonomi, telebih politik.

Perjuangan orang-orang yang kehilangan kebebasan itu tercermin dalam karakter Sasa dan Jaka  yang tereksplorasi dengan baik sehingga pembaca bisa ikut memahami pergulatan batin  yang mereka rasakan. Kisah demi kisah yang dialami tokohya terangkai dengan baik tanpa mengada-ngada karena hampir semuanya merupakan pengisahan dari berbagai peristiwa yang pernah kita alami sebagai sebuah bangsa yang masih jatuh bangun dalam mengusung kebebasan dan keadilan ini. 

Dari keseluruhan novel ini saya hanya menemukan satu ganjalan saja, yaitu bagaimana Banua, seorang pasien RS Jiwa  melakukan bunuh diri.dengan cara menikam diri dengan pisau di dadanya. Saya rasa bunuh diri saya cara dengan menancapkan pisau ke dada adalah hal yang sulit dilakukan oleh orang awam karena membutuhkan tenaga ekstra dan lokasi yang tepat agar pisau itu menembus jantung dengan sempurna. Akan lebih wajar rasanya jika bunuh diri tersebut dilakukan dengan menggantung diri atau mengiris urat nadinya sendiri.

Terlepas dari itu dari jika saya bandingkan antara novel Okky sebelumnya yaitu antara Entrok dan Maryam (minus 86 karena saya belum membacanya) , maka saya berpendapat  Pasung Jiwa adalah yang terbaik diantara dua novel sebelumnya.

Akhir kata, menngutip pendapat Okky mengenai tugasya sebagai penulis seperti yang terungkap di awal review ini  bahwa ia "menulis untuk menegakkan keadilan bagi kemanusiaan" saya rasa Okky telah membuktikannya lewat novel ini dan novel-novel sebelumnya.

Okky telah menunaikan tugasnya sebagai seorang penulis, sekarang tinggal berpulang pada pembacanya, apakah  setelah membaca karya-karya Okky kita tergerak untuk berjuang melawan ketidakadilan dan mengakkan kemanusiaan? Jika tidak, perjuangan Okky akan sia-sia dan karya-karyanya  hanya akan menjadi sebuah monumen yang tersimpan dengan baik di rak buku kita masing-masing. 

@htanzil

Tags