Latest News

Wednesday, 21 August 2013

Di Bawah Bendera Merah by Mo Yan

[No. 315]
Judul : Di Bawah Bendera Merah
Penulis : Mo Yan
Penerjemah : Fahmy Yamani
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2013
Tebal : 114 hlm


Buku ini merupakan memoar Mo Yan, penulis asal China peraih nobel sastra 2012. Dalam buku ini Mo Yan menulis penggalan kehidupannya selama kurun waktu 40 tahun, dari tahun 1969 ketika ia masih kelas V SD hingga tahun 2009 saat dia menjadi salah satu juri Maoqiang, salah satu seni drama budaya di China. Semuanya itu ia tuangkan dalam sebuah memoar bertentuk novel otobiografis pendek .

Dalam memoarnya ini Mo Yan mengawalinya dengan kisahnya saat ia dikeluarkan dari sekolah, walau tidak disebutkan secara jelas penyebab utamanya namun Mo Yan menulis dirinya selalu menjadi anak pemalu yang sial dan selalu mendapat pandangan negatif baik dari kedua orang tua, guru-guru, dan orang-orang yang mengenalnya

"Tidak seorang pun pernah mengaitkan diriku dengan sesuatu yang baik atau berguna. Namun, jika terjadi peristiwa buruk maka semua jari diarahkan kepadaku. Orang-orang mengatakan aku ini pemberontak, isi kepalaku sangat buruk, aku membenci sekolah dan guru-guru" (hlm 4)

Kenyataannya Mo Yan tidak membenci sekolah karena dalam novel ini dikisahkan bahwa walaupun telah diusir dari sekolahnya Mo Yan tetap mengunjungi sekolahnya dan melihat mantan teman-teman sekelasnya melakukan berbagai kegiatan..

Setelah terpaksa drop out dari sekolah dasar di usianya yang ke 12, Mo Yan yang pada awalnya memiliki cita-cita sederhana untuk menjadi sopir truk melanjutkan kehidupannya sebagai pekerja kontrak di pabrik pengolahan kapas sambil mencoba melamar menjadi Tentara Pembebasan Rakyat. Setelah berkali-kali lamarannya ditolak akhirnya pada tahun 1976 ia berhasil diterima sebagai Tentara. Ternyata kariernya di ketentaraan inilah yang menghantarnya menjadi seorang penulis. Pada  tahun 1978 Mo Yan mempelajari bidang penulisan sastra dan dari situlah ia mulai mencoba menulis cerpen untuk dikirimkan ke beberapa majalah

Setelah berkali-kali mengalami penolakan akhirnya pada tahun 1981 cerpen pertamanya dimuat di sebuah majalah lokal dan sejak itu semangat menulisnya semakin menggebu-gebu sehingga di tahun 1984 MoYan mengikuti ujian masuk Jurusan Sastra  di Institut Seni Tentara Pembebasan Rakyat, dan tak lama kemudian novel pendeknya yang berjudul Lobak yang Tembus Pandang diterbitkan dan memperoleh pengakuan luas hingga akhirnya diikuti oleh terbitnya novel Sorgum Merah yang meledak dua  tahun kemudian.

Selain tentang perjalanan karirnya dari seorang pekerja pabrik, tentara, lalu  menjadi seorang penulis, dalam memoarnya ini Mo Yan juga menceritakan kehidupan seorang sahabat masa kecilnya yatiu He Zhiwu yang sama-sama memiliki obsesi untuk mengendarai Truk Gaz 51.

Mo Yan tampaknya sangat terkesan dengan He Zhiwu dan obsesinya untuk mengendarai truk, semuanya ini ia tuangkan di sepanjang memoarnya sehingga  kisah He Zhiwu dan  Truk Gaz 51 selalu muncul dan menjadi salah satu bagian yang menghibur dan menarik dalam buku ini. Karenanya sangat tepat jika penerbit Serambi menampilkan ilustrasi seorang tentara muda yang sedang duduk di atas truk sambil mengibarkan bendera merah pada cover novel ini. Ilustrasi cover yang lebih menarik dibanding cover edisi bahasa Inggrisnya.

Dalam memoarnya ini juga kita bisa melihat bagaimana kondisi serta gejolak perubahan sosial politik di China, serta kronik sejarah di mata rakyat biasa yang dikaitkan dengan pengalaman pribadi Mo Yan. Contohnya dari pengalamannya sebagai anak petani yang bekerja sebagai pekerja kontra di pabrik kapas Mo Yan menulis bagaimana pandangan umum masyarakat China saat itu tentang status sosial petani. 

"Pekerjaan kontrak di pabrik pengolahan kapas memang lebih baik daripada bertani di desa, tetapi aku masih terdaftar sebagai petani, dan jika hal itu tidak berubah, aku tetap terjebak di anak tangga masnyarakat paling bawah" (hlm 33)

Atau bagaimana Mo Yan juga mengungkapkan kekhawatiran rakyat China akan masa depan negaranya yang akan suram setelah kematian Ketua Mao (Mao Tze Tung)  yang  ternyata tidak terbukti

"Kami juga meyakini kematian ketua Mao menjadi malapetaka bagi China. Namun, dua tahun kemudian, China tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga mulai berkembang. Perguruan tinggi dan universitas telah mebuka pintunya lagi; tuan tanah di pedesaan dan petani kaya menyeruak dari status mereka yang direndahkan; keluarga petani mampu hidup lebih baik; dan lembu milik kelompok produksi makin gemuk. Bahkan, orang sepertiku difoto di depan Lapangan Tianamen dan melihat mayat Ketua Mao dengan mata sendiri" (hlm 60)

Yang agak disayangkan dalam novel ini adalah  Mo Yan menulis memoarnya secara tanggung, ada hal-hal  yang tidak diungkapkannya seperti misalnya bagaimana prose kreatif tentang novel Red Shorgum yang mengantarnya menjadi penulis terkenal, atau kisah bagaimana novel-novelnya sempat dilarang. Entah kenapa hal itu tidak disinggungnya dalam memoar yang untuk pertama kalinya terbit pada tahun 2010 yang lalu.

(Change by Mo Yan, Seagull Books, London 2013)


Memoar ini diterjemahkan dari edisi bahasa Inggrisnya yang berjudul "Change". Sedangkan untuk edisi bahasa Indonesianya judulnya menjadi Di bawah Bendera Merah. Judul edisi terjemahannya memang terkesan lebih seksi dan memikat dibanding "Change". Pilihan judul yang cukup beralasan dan dapat menggambarkan isi dari novel otobiografis ini karena Bendera Merah identik dengan warna bendera dan warna pemerintahan komunis China yang memang mewarnai kehidupan dan karier Mo Yan selama ini

Dilihat dari bagaimana Mo Yan mengisahkan situasi politik di China secara sederhana namun mengandung makna yang dalam yang dikaitkan dalam kehidupan personalnya saya sependapat dengan  Anton Kurnia (Pemimpin Redaksi Penerbit Serambi) dalam kata pengantarnya yang mengatakan bahwa,

"Buku ini mewakili sejarah orang-orang kecil, semacam petit histoire yang dituturkan dengan sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung refleksi yang cerdas dan dalam.

@htanzil

 Awards and honours

List of works

Novels

Short story collections

  • Explosions and Other Stories
  • Shifu: You'll Do Anything for a Laugh[31] (1999; English: 2002)

Monday, 19 August 2013

Gedung Bank Indonesia Bandung dari Masa ke Masa by Sudarsono Katam

[No. 314]
Judul : Gedung Bank Indonesia dari Masa ke Masa
Penulis : Sudarsono Katam
Penerbit : Kiblat Buku Utama
Cetakan : I, Maret 2013
Tebal : 53 hlm

Gedung Kantor Bank Indonesia Bandung adalah salah satu bangunan cagar budaya yang menjadi salah satu ikon kota Bandung. Selain Gedung Sate, gedung Bank Indonesia Bandung adalah salah satu bangunan indah dari era kolonial  yang dibuat dengan gaya  arsitektur Neo Classic (Electcism) yang dipadupadankan dengan arstektur khas nusantara. Gedung  ini juga merupakan bangunan dengan konstruksi beton bertulang  pertama yang dibangun di kota Bandung.

Sayangnya tidak banyak yang mengetahui sejarah dan asal usul bangunan indah ini dibanding bangunan-bangunan cagar budaya lainnya di Bandung. Sebenarnya Bank Indonesia Bandung pada tahun 2007 telah membuat buku berjudul The Old Bank Indonesia, Bandung Regional Office Building, Preserving an Acrhitectural Heritage yang disusun oleh tim dari Bank Indonesia Bandung yang juga melibatkan Sudarsono Katam (penulis buku ini).  Buku tersebut yang menjelaskan tentang upaya reservasi gedung, kondisi fisik gedung, latar belakang pendirian, dll,  sayangnya buku tersebut tidak diedarkan untuk umum melainkan hanya sebagai cendera mata oleh Bank Indonesia dan untuk keperluan intern lainnya.

Bersyukur akhirnya kini hadir sebuah buku tentang Gedung Bank Indonesia Bandung yang dapat dibaca oleh masyarakat umum. Buku ini berisi tentang sejarah dan latar belakang berdirinya gedung De Javasche Bank yang terletak di ujung jalan Braga Bandung yang selesai dibangun pada 1918, peran dan kedudukannya di masa pendudukan Jepang, renovasi gedung yang pernah dilakukan, dan keindahan fisik bangunannya

De Javache Bank tahun 1930-an
Bank Indonesia Bandung masa kini

Di masa pendudukan Jepang ada satu hal yang menarik yang terungkap di buku ini yaitu mengenai keberadaan cadangan emas yang tersimpan di De Javasche Bank senilai f.120.000.000 pada saat Perang Dunia II. Di saat Jepang mulai memasuki Indonesia maka direksi memutuskan untuk mengungsikan cadangan emas tersebut segera diungsikan dalam 7 kali pengiriman ke Australia dan Afika Selatan.

Tanggal 6 Maret 1942 tentara Jepang menggeledah khazanah (ruang rahasia tempat menyimpan emas dan benda-benda berharga)  di seluruh De Javasche Bank di Hindia termasuk di Bandung, tentu saja tentara Jepang harus kecewa karena tidak terdapat sepotong emaspun dalam seluruh khazanah De Javasche Bank. Namun tentara Jepang tidak  menyerah begitu saja dan berusaha menginterogasi para direksi dan mencoba mencari cadangan emas yang diperkirakan disembunyikan De Javasche Bank.

"Tentara Jepang menyelidiki keberadaan cadangan emas Hindia Belanda ke mana-mana sampai ke pelosok Pulau Jawa. Vila peristirahatan De Javasche Bank di Megamendung Cianjur turut digeledah bahkan kebun di sekitar  vila digali sampai enam meter dalamnya. Tentara Jepang juga meneliti kemungkinan adanya kapal pengangkutan emas tersebut yang karam terkena torpedo kapal selam Angkatan Laut Jepang di Laut Jawa atau samudra Hindia, sehingga masih dapat diambil kembali dengan bantuan penyelam" (hlm 20)

Selain tentang sejarah De Javasche Bank, buku ini memaparkan pula tentang renovasi gedung De Javasche Bank Bandung yang telah beberapa kali mengalami renovasi sejak zaman Hindia Belanda  hingga kini. Selain itu ada juga bab khusus tentang interior dan eksterior gedung yang dilengkapi dengan foto-foto yang tajam dan detail tentang hal-hal yang unik dan patut mendapat perhatian kita semua.

Ketika membahas mengenai renovasi gedung, penulis mengungkapkan kekecewaannya karena ada beberapa bagian interior gedung seperti bahan lantai yang tidak rusak, kaca etsa pintu putar gerbang masuk dan ornamen kaca patri yang asli  yang ternyata dibawa pihak pelaksana renovasi.

"Sungguh sangat disayangkan mengapa benda-benda tersebut harus diganti sehingga interior gedung menjadi tidak orisinal atau tidak menjadi sesuai lagi dengan rancang awal bangun gedung." (hlm 30)

Penambahan luas dan perubahan bentuk yang dilakukan berkali-kali pada Gedung Bank Indonesia Bandung juga membuat gedung ini tidak asli lagi sehingga penulis mempertanyakan

"Apakah Gedung Bank Indonesia Bandung masih dapat dikategorikan sebagai gedung cagar budaya, mengingat perubahan yang terjadi cukup fundamental dilihat dari kriteria penetapan sebuah gedung sebagai cagar budaya." (hlm 30)

Secara keseluruhan buku ini sangat baik dalam membahas  Gedung Bank Indonesia dari Masa ke Masa. Penulis menggambarkannya dengan cukup detail terlebih dalam membahas interior dan eksterior gedung yang merupakan gabungan dari gaya eropa dan tradisional nusantara yang tampak dari beberapa elemen dekoratif antara lain  pilar-pilar kokoh seperti yang terdapat di  istana-istana eropa yang dipadukan dengan ornamen candi di puncak bangunannya.

Adanya foto-foto yang tercetak secara tajam di atas kertas mat paper yang mengkilat juga sangat membantu pembaca menyusuri sudut-sudut dekoratif  dari gedung ini.

Yang sangat disayangkan dalam buku ini adalah kemasan covernya. Cover dengan latar belakang hitam dan foto De Javasche Bank cabang Bandung  tahun 1930-an yang tampak buram membuat tampilan buku ini menjadi kurang sedap dipandang mata. Apakah cover hitam ini memang dibuat sebagai penanda atau ciri khas dari buku-buku karya Sudarsono Katam mengingat kedua buku karya beliau tentang Bandung dibuat dengan cover berwarna hitam? Kalaupun memang harus berwarna hitam alangkah baiknya kalau foto covernya dipilih dari foto dengan resolusi yang lebih baik seperti di dua buku sebelumnya.

(Buku-buku Sudarsono Katam dengan cover berwarna hitam)


Terlepas dari tampilan covernya yang kurang menaik kehadiran buku ini patut diapreasiasi baik oleh para pemerhati bangunan-bangunan bersejarah di Bandung maupun bagi masyarakat umum untuk lebih memahami seluk beluk gedung Bank Indonesia Bandung baik dari segi sejarah maupun dari segi estetika arsitekturnya.

Selain itu seperti yang dikatakan penulis dalam kata pengantarnya buku ini disusun dengan tujuan untuk dapat membeikan pengetahuan atau informasi mengenai gedung De Javasche Bank Cabang Bandung yang merupakan  sejarah kecil (petit histoire) Kota Bandung dan untuk  memperkaya literatur tentang kota Bandung.

@htanzil

Tuesday, 13 August 2013

123 Ayat Tentang Seni by Yapi Tambayong

[No. 313]
Judul : 123 Ayat Tentang Seni
Penulis : Yapi Tambayong
Penerbit : Nuansa Cendekia
Cetakan : I, Agustus 2012
Tebal : 298 hlm

Buku karya seniman serba bisa Yapi Tambayong atau lebih dikenal dengan nama Remy Sylado ini membahas mengenai lima cabang seni (susastra, musik, seni rupa, drama, dan film). Buku  ini bisa dibilang buku yang ditulis secara unik karena  masing-masing cabang seni disajikan dalam 123 paragraf yang diberi nomor seperti halnya ayat-ayat/pasal-pasal dalam kitab suci atau kitab undang-undang. Karenanya tidak heran buku ini diberi judul 123 Ayat tentang Seni.

Pada bagian Seni Susastra (dasar-dasar Filologi) yang menyingkap tradisi panjang literasi peradaban manusia kita akan melihat bahwa budaya tulis paling tua di dunia dimulai tahun 4000 SM  oleh manusia Sumeria Babilonia dan terus berkembang hingga kini. Ada banyak hal menarik di bagian ini, dan yang mungkin tidak banyak diketahui adalah tentang Komunitas Nobel Indonesia yang terdiri dari 9 Guru Besar dari Universitas dan Institute ternama di Indonesia yang memutuskan untuk memberi penghargaan istimewa terhadap novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado yang disebut-sebut sebagai satu-satunya sastra terbaik Indonesia dalam dua abad ini. Keputusan tersebut dikemukakan oleh Prof. Jakob Sumardjo pada 23 Januari 2011. (Seni Susastra, ayat 123)

Pada bagian seni Musik (dasar-dasar Musikologi) kita akan mendapatkan kekayaan pengetahuan musik secara praktis dari hal yang teoritis hingga berbagai hal tentang musik yang dekat dengan keseharian kita seperti nada-nada do-re-mi-fa-so-la-si-do yang ternyata diambil dari larik-larik puisi nyanyian doa kepada Tuhan. do sendiri merupakan singkatan dari Domunus, artinya Tuhan (Seni Musik, ayat 11).

Yang bagi saya cukup mengejutkan di bagian ini adalah tentang lagu yang menginspirasi WR Supratman untuk mencipatakan lagu kebangsaan Indonesia Raya 

Salahsatu lagu yang dimainkan secara jazz oleh Wage adalah bahasa Belanda-Indo "Lekka, lekka, pinda-pinda", artinya "Enak-enak, kacang-kacang". Dari lagu ini pula Wage mengubahnya menjadi "Indonees, Indonees" dan sempat direkan sebagai piringanhitam pada 1927 di Hongkong. Sebelum diperdengarkan dalam Konggres Pemuda pada 1928, Bung Karno mengusulkan untuk mengubahnya menjadi "Indonesia Raya". (Seni Musik, ayat 100)

Di bagian seni musik  ini juga diungkap bagaimana R. Surarjo membajak bagian depan lagu kebangsaan Prancis. Le Marseillaise menjadi lagu "Dari Sabang Sampai Merauke". (Seni Musik, ayat 103)
 
Di Bagian Seni Rupa (dasar-dasar fine-arts) akan terungkap bagaimana sejarah perkembangan seni rupa dunia dan Indonesia dari masa ke masa beserta aliran-alirannya. Bagian ini kita diajak memahami apa itu seni rupa dan bagaimana seharusnya kita memahaminya. Yang menarik di bagian ini adalah ternyata di tahun 2012 ada dua buah karya lukis yang terjual secara fantastis dan salah satunya adalah hasil karya pelukis Indonesia

Edvard Munch (1863-1944) ...pada 2012 melalui lelang Sotheby's New York untuk karyanya "Menjerit" terjual hampr 120 juta dolar, yaitu US$ 119.922.500. Ini lebih tinggi dari karya Picasso yang mencapai US$ 105,5 juta pada 2010  
(Seni Rupa, ayat 59)



..tokoh penting menggegerkan dari Jogyakarta yang menjadi buahbibir seni rupa Indonesia adalah Nyoman Masriadi yang lukisannya diberitakan terjual 12 milyar rupiah melalui Sotheby Hongkong (Seni Rupa Ayat 107)


Yang istimewa di bagian Seni Rupa dalam buku ini adalah adanya 37 halaman berwarna dengan kertas art paper yang mengkilat untuk menyajikan 55 lukisan yang terdapat dalam ayat-ayat Seni Rupa.

(halaman berwarna 123 Ayat tentang Seni)

Dalam Seni Drama (dasar-dasar dramaturgi) kita diajak memahami arti dan konsep dramaturgi secara benar dimana dalam sebuah pertunjukan drama terdapat bagian introduksi, situasi, konfik, klikmas, dan solusi (Seni Drama, ayat 5). Di bagian ini terdapat banyak teori-teori drama yang dapat bermanfaat bagi kita kita semua dalam menafsirkan aksi-aksi teatrikal dalam sebuah karya drama.

Di bagian Seni Film (dasar-dasar sinematografi) penyajiannya agak berbeda dengan keempat bidang seni lainnya. Kali ini walau masih tetap menggunakan ayat-ayat  namun urutan penyajiannya berdasarkan istilah-istilah dalam seni Film secara alvabet  (A-Z) layakntya sebuah kamus. Dimulai dari lema Absolute Film hingga lema Zoom.

Kesemua ayat dalam Seni Film ini mengajak kita untuk memahami berbahai hal mengenai film-film yang mendapat tempat dalam panggung sejarah perfileman dunia, selain itu juga dibahas mengenai proses kreatif dan  produksi perfileman dunia dan Indonesia

Beberapa hal yang  menarik terungkap di bagian ini antara lain ada pada lema kata 'Hunting'  dimana pada film berjudul Melody (1995), sutradara Edo Pasta Sirait  yang hunting hingga ke Los Angeles dan selesai sutting di sana filmnya tidak jadi ditayangkan dan musnah karena konon dibakar oleh produsernya karena kasus selingkuh. (Seni Film, ayat 49)

Pada lema 'Oscar'  (Academy Awad) terungkap asal mula kata Oskar yang ternyata dicetuskan secara tidak sengaja oleh Margaret Herrick yang pada saat pertama kali melihat patung piala Academy Awards itu berseru;

"Patung itu seperti Pak Oscar!" Pada waktu itu yang menjabat sebagai direktur eksekutif akademi tersebut adalah Oscar.  
(Seni Film, ayat 75)

Di bagian Seni Film ini penulis beberapa kali menyatakan protes atau kekesalannya yang sangat pedas pada PH (Production House) di Indonesia yang  hanya berorientasi pada dagang sehingga menghasilkan sinetron-sinetron kejar tayang yang tidak bermutu

...karena memang orientasinya dagang, dan otak dagang hanya melulu laku, maka banyak sinetron yang dibuat oleh PH tidak lagi menghargai logika. Malahan lebih jauh, hasil kerja film yang dibuatnya boleh dibilang sebagai suatu pembodohan: mengalirkan kebodohan kepada masyarakat supaya ikut tertular kebodohan PH.... Memang tidak bisa diharapkan sesuatu yang pintar dan sungguh-sungguh dari film-film televisi yang dibuat PH. Soalnya, baik PH maupun stasiun TV sama-sama sudah jadi tawanan dagang kelontong, kerja buru-buru dengan pola "kejar tayang" (Seni Film, ayat 84)

Quckies..... ini juga merupakan ejekan untuk film-film gampangan yang dibuat secara buru-buru. Serapan kata ini di Indonesia bisa diartikan untuk membilang sinetron-sinetron tolol yang dibuat berdasarkan pola "kejar tayang"... 
(Seni Film., ayat 85)

Masih banyak hal-hal menarik yang menambah wawasan kita akan kelima bidang seni yang terdapat dalam 615 ayat dalam buku ini.  Di masing-masing bagian Remy menghubungkan antara satu ayat dengan ayat selanjutnya secara sistematis dan berkesinambungan sehingga ke 123 ayat dalam masing-masing seni yang dibahasnya merupakan sebuah rangkaian untuh yang sambung menyambung dari ayat pertama hingga ayat ke 123.

Melalui buku ini kita juga tidak hanya melihat seni dari sudut pandang seni semata  melainkan kita akan melihat kelima cabang seni ditinjau dan dibahas dari sudut pandang sejarah, filsafat, antropologi, teologi, agama, dan budaya sehingga buku ini sangat pantas dikoleksi dan dijadikan salah satu buku rujukan pengetahuan tentang seni yang lengkap.

Sekalipun tema, judul, dan kemasan buku ini terkesan ilmiah namun penulis berhasil menuliskan seluruh pengetahuannya tentang seni kedalam ayat-ayat dengan kalimat yang singkat dan populer sehingga  mudah dipahami oleh pembaca awam. Karenanya  buku ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi dengan rentang pembaca yang luas mulai dari para pelajar, mahasiswa, pendidik, praktisi seni, wartawan, dan siapa saja yang ingin mengetahui tentang seni yang tanpa kita sadari sesungguhnya melekat dalam kehidupan kita.

@htanzil

Tags