Latest News

Wednesday, 29 January 2014

Memang Jodoh by Marah Rusli

[No.326]
Judul : Memang Jodoh
Penulis : Marah Rusli
Penerbit : Qanita
Cetakan : II, September 2013
Tebal : 536 hlm
ISBN : 978-602-9225-84-6

Marah Rusli (1889-1968), nama sastrawan yang juga disebut sebagai Bapak Roman Modern Indonesia ini sangat dikenal melalui karyanya yang monumental  yaitu novel  Siti Nurbaya (1920). Novel roman ini menjadi salah satu icon sastra Indonesia dan menjadi salah satu bacaan wajib para siswa ketika mempelajari kesuasteraan Indonesia. Saking populernya novel  ini sampai-sampai Siti Nurbaya menjadi idiom yang umum digunanakan masyarakat Indonesia untuk menyatakan pasangan yang dijodohkan orang tuanya secara paksa

Selain Siti Nurbaya karya-karya lainnya yang sudah diterbitkan yaitu La Hami (1952), Anak dan Kemenakan (1956), Gadis yang Malang, terjemahan novel karya Charles Dickens (1922). Selain keempat judul itu ternyata ternyata masih ada karya terakhir Marah Rusli yang masih berupa naskah dan belum pernah diterbitkan yaitu Memang Jodoh

Naskah Memang Jodoh yang merupakan novel autobiografis ini merupakan kado ulang tahun pernikahan ke 50 Marah Rusli dengan  Rd. Ratna Kencana (2 November 1961).  Naskah asli novel ini ditulis dalam huruf Arab Gundul lalu diketik dengan mesin tik manual dan rampung pada 1961.  Naskah ini tersimpan rapih selama puluhan tahun karena memang Marah Rusli sendiri yang mengizinkan naskahnya ini diterbitkan setelah semua tokoh yang ada dalam novelnya inu meningga dunia. Dan untuk itu butuh 50 tahun lamanya sebelum akhirnya di bulan Mei 2013 yang lalu  Memang Jodoh diterbitkan.

 Anak ketiga Marah Rusli, Siti Nur Chairani (85 tahun) dan naskah asli milik ayahnya
[Sumber  foto : http://store.tempo.co]



Seperti  dalam novel Siti Nurbaya, dalam karya terakhirnya ini Marah Rusli kembali menggugat adat Padang dalam hal perjodohan terutama di kalangan kaum bangsawan. Namun kali ini bukan berdasarkan imajinasinya semata tetapi berdasarkan apa yang ia alami sendiri selama 50 tahun pernikahannya dengan istrinya, seorang gadis berdarah bangsawan Sunda. 

Seperti dalam kehidupan aslinya dimana Marah Rusli adalah seorang keturunan bangsawan Padang maka dalam dalam novel inipun dikisahkan seorang pemuda keturunan bangsawan bernama Marah Hamli. Di awal novel dikisahkan Hamli yang baru saja lulus dari Sekolah Rakjat di Bukittinggi. Awalnya ayahnya menginginkan Hamli melanjutkan studi-nya ke negeri Belanda namun kepergian Hamli ini tidak diizinkan oleh ibunya  karena khawatir anak semata wayangnya terpikat oleh gadis barat karena sebenarnya Hamli sudah akan dijodohkan dengan gadis Padang yang sepadan dengan dirinya.

Gagal berangkat ke Belanda, Hamli merantau ke Bogor ditemani neneknya. Di sana ia melanjutkan studinya ke sekolah pertanian di Bogor. Sebelum berangkat Hamli menyadari bahwa dirinya menderita sakit 'pilu' yang menyebabkan dia selalu merasa galau dan rindu akan sesuatu yang tidak dimengertinya.

Tadinya Hamli berharap dengan merantau di Bogor maka penyakit pilunya akan sembuh. Namun ternyata  Hamli tidak juga kunjung sembuh hingga akhirnya ia bertemu dengan Din Wati, gadis Priangan berdarah biru yang menawan hatinya dan menyembuhkan penyakit pilu-nya. Hamli sadar bahwa cintanya terhadap Din Wati akan mendapat tantangan dari keluarganya karena hal itu melanggar adat Padang yang tidak mengizinkan pernikahan beda suku.

Namun hal ini tidak menghalangi Hamli untuk menikah dengan gadis pujaannya. Dengan didukung oleh neneknya dan restu dari ayahnya, apalagi setelah diyakinkan dengan dua buah ramalan bahwa perjodohan mereka sudah ditakdirkan oleh Tuhan Hamli nekad memutuskan untuk melanggar adat. Ia  rela "dibuang" oleh kaum keluarganya demi cintanya pada Din Wati.  

Walau kelak Hamli menikah dengan Din Wati, keluarga-nya di Padang tidak menyerah, demi kehormatan keluarga dan untuk mempertahankan adat Padang segala cara diupayakan keluarganya untuk meruntuhkan pernikahan Hamli dengan Din Wati  mulai dari penggunaan ilmu hitam hingga  memaksa Hamli untuk berpoligami, mengambil istri kedua yang berasal dari suku Padang dimana hal itu adalah sebuah kewajaran dan kehormatan bagi bangsawan Padang.


"..lazim laki-laki kita beristri banyak. Bahkan baik; tanda disukai, dihargai, dan dimuliakan orang..." (hlm 337)

Begitu gencanya usaha yang dilakukan kaum keluarga Hamli di Padang untuk tetap menikahkannya dengan gadis Padang ditambah berbagai kesulian dalam rumah tangga  Hamli yang datang silih berganti membuat Hamli bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah  ini akibat dari perbuatannya yang melanggar adat leluhurnya? Sanggupkah Hamli tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak berpoligami dan mempertahankan pernikahannya dengan istri yang yang dicintainya? 

Lika-liku kehidupan Hamli dan perjodohannya memang sangat menarik untuk disimak. Di novel ini kita tidak hanya disuguhkan sebuah drama pernikahan Hamli dan Din Wati beserta intrik-intrik yang dilakukan keluarganya untuk menghancurkan pernikahan Hamli  namun kita juga diajak menyelami adat Padang yang begitu keras mengatur perjodohan dan pernikahan yang merupakan hak mutlak orang tua. 

"Tetapi di sana, perwakinan itu semata-mata perkara orangtua dan para ninik mamak  yang akan kawin itu serta kaum keluarganya. Anak yang dikawinkan, tak tahu menahu dan tak suka menyuka dalam perkawinannya; melainkan harus menurut dengan buta tuli kermauan orang tuanya, ninik mamaknya, dan kaum keluarganya"

"Keturun bangsawan  tinggi Padang dan menurut aturan Padang dia tak boleh kawin dengan perempuan yang tidak berasal dari Padang. Dan kalau anak itu perempuan lebih sulit lagi. Sedangkan laki-lakinya tidak diizinkan kawin dengan perempuan negeri lain, apalagi perempuannya. Sebab, itu suatu kehinaan yang besar di mata orang Padang" (hlm 155)

Dan bagaimana jika si anak tidak mau menuruti perjodohan yang diatur oleh orang tuanya?

"Anak itu sendiri, tidak boleh membantah, kalau dia tak ingin dibuang dari kaum keluarganya" 
(hlm 155)

Mengapa demikian kerasnya orang Padang mengatur hal-hal yang menyangkut perjodohan, rupanya inilah alasannya. ;

"Bagaimana jadinya negeri Padang, jika  telah ditinggalkan oleh anak-anaknya kelak? Siapa yang akan mengurus negeri dan harta pusaka yang tersimpan itu? Siapa yang akan mengerjakan sawah dan ladang yang terbengkalai? Tidakkah semua itu akan jatuh juga ke tangan orang lain apabila tak ada yang mengurus dan memeliharanya? " 
(hlm 172-173)

"Akan jadi apakah kelak adat istiadat kita, pusaka nenek moyang kita yang kita pegang teguh sejak semula? Niscaya akan lenyaplah ia dari tanah air kita ini karena disanggah oleh yang muda-muda. Dan dengan lenyapnya itu, akan hilangkah pula bangsa kita; 
lebur dalam bangsa campuran" 
(hlm 367) 


 Marah Rusli & Raden Ratna Kencana bersama 9 dari 11 cucunya (1951-52)
(Sumber foto : Memang Jodoh, Qanita, 2013)

Masih banyak hal menarik dalam novel ini yang bisa kita pelajari, lewat tokoh Hamli penulis menyampaikan kritik yang tajam  terhadap adat Padang yang demikian keras dalam menentukan jodoh bagi kaumnya karena baginya hal tersebut  sudah tidak sesuai dengan jaman yang telah berubah. Selain itu kita juga akan melihat bagaimana Hamli begitu teguh dan keras menentang poligami dengan cara yang santun

Tidak hanya adat Padang di novel ini juga kita melihat bagaimana orang Sunda  juga mengatur perjodohan bagi anak-anaknya walau tidak sekeras orang Padang dan bagaimana orang Sunda yang diwakli oleh Din Wati dan saudara-saudaranya melihat Padang itu sebagai  'tanah seberang', sebuah tempat yang menakutkan bagi perempuan Sunda.

Selain itu karena novel ini berdasarkan apa yang dialami oleh penulisnya maka peristiwa meletusnya Gunung Kelud pada 1919 yang menelan ribuan jiwa itu terekam dalam novel ini karena pada saat itu penulis kebetulan sedang tinggal dan bekerja di Blitar bersama istri dan anak-anaknya. Hanya saja ada perbedaan mengenai jumlah korban jiwa. Wikipedia mencatat letusan Gunung Kelud tahun 1919 menelan 5.160 jiwa, sedangkan novel ini menyebutkan angka yang jauh lebih tinggi.


"Sesungguhnya bencana letusan gunung Kelud ini telah meminta korban nyawa kira-kira 30.000 orang: selain rumah dan harta benda, kebun, dan hewan yang telah punah" 
(hlm 434)

Selain pengalaman penulis saat menghadapi bencana alam Gunung Kelud, di bab terakhir sekaligus penutup novel ini dikisahkan pengalaman Hamli saat Belanda dan tentara sekutu melakukan aksi polisionil nya. Di bagian ini tampak jelas kebencian penulis terhadap pasukan NICA yang selalu ditulis dengan "Anjing NICA". Membaca bab penutup novel ini kita akan disuguhkan dengan penjelasan yang detail tentang perjuangan gerilyawan Indonesia dengan pasukan Belanda dimana Hamli ikut berjuang di dalamnya sehingga bab ini terasa lain dibanding bab-bab sebelumnya yang didominasi lika-liku pernikahannya dengan Din Wati. Bagi saya pribadi bab ini menjadi bab antiklimaks dan terasa agak membosankan. 

Namun ada satu hal yang menarik yang saya dapatkan di bab terakhir ini adalah tentang nasib anak-anak yang dimanfaatkan oleh tentara Belanda untuk menjadi mata-mata yang nyaris dibunuh oleh para gerilyawan.

"Di sana Hamli melihat beberapa anak kampung yang ditinggalkan oleh tentara gerilya dibawa ke Bumi Jawa untuk dibunuh di sana. Kesalahan anak-anak kecil ini adalah menunjukkan tempat kediaman tentara gerilya kepada Belanda...... Anak-anak ini melakukan pengkhianatan ini karena dibujuk oleh mata-mata Belanda yang banyak sampai ke Pegunungan Selamat dengan sepotong roti, beberapa batang rokok sigaret dan uang beberapa rupiah.

Karena kasihan akan nasib anak-anak yang belum tahu apa-apa ini, Hamli menyarankan supaya anak-anak ini jangan dibunuh, melainkan dididik di Bumi Jawa menjadi mata-mata gerilya melawan Belanda. Pikiran Hamli ini dibenarkan oleh tentara gerilya dan dituruti"
(hlm 522)

Karena seluruh kisah dalam novel ini diangkat dari pengalaman pribadi penulisnya maka kisah tentang anak-anak tersebut bukanlah imajinasi penulisnya melainkan memang fakta yang ada di masa itu.  

Dari semua kisah yang tertuang dalam novel ini tentunya ada banyak hal yang dapat kita ambil dari novel ini. Dengan setting kehidupan dan adat masyarakat Minang di masa lampau novel ini juga dapat menjadi sumber yang berharga ketika kita ingin memahami bagaimana kultur budaya dan adat Minang yang begitu mengikat dan mempengaruhi kehidupan masyarakatnya di masa lampau dan hingga kini masih terasa jejak-jejaknya walau sudah tergerus arus zaman dan waktu. 

Walau Novel Memang Jodoh ditulis lebih dari 50 tahun yang lampau dengan cita rasa bahasa dan  kosakata lama termasuk pantun, peribahasa, dan beberapa perumpamaan melayu yang disisipkan dalam novel ini namun novel ini masih sangat nyaman dibaca di masa kini bahkan cita rasa bahasa lamanya lah yang membuat novel ini menjadi begitu sesuai dengan setting kisahnya sehingga kita seakan terlempar ke awal abad ke 20

Dan yang juga menjadi keistimewaan novel ini, seperti yang diungkapkan Seno Gumira Ajidarma dalam endorsment-nya jika biasanya kisah sastra berlatar belakang Minang selalu mengetangahkan konflik antara adat dan agama, tidak demikian dengan novel ini  karena yang dipertentangkan adalah konflik antara adat versus kemerdekaan individual. Perjuangan seorang tokoh yang berjuang membebaskan dirinya dari adat yang membelenggu kebebasan individunya dalam mencari dan memilih pasangan hidupnya.

Akhir kata ada banyak hal yang dapat kita petik dari novel ini, namun yang pasti inilah yang menjadi tujuan utama Marah Rusli menulis Memang Jodoh yang diwakili oleh tokoh Marah Hamli dalam pidatonya kepada anak cucu dan keluarganya di hari ulang tahun pernikahannyya

"Niatku semata-mata ingin mengingatkan kepincangan-kepincangan pelaksanaan adat istiadat, yang tak baik lagi dipertahankan, bahkan seharusnya sudah sejak dulu diperbaiki, diganti, sehingga dapat disesuaikan dengan zaman yang telah beralih dan masa yang telah berubah. Agar mereka selamat di tengah arus pergaulan dunia yang luas seperti  kaum-kaum lain yang lebih dulu maju. Semoga penderitaan dalam rumah tangga kami, menjadi peringatan dan penyuluh dalam perkawinan mereka, yang penuh karunia, rahmat, dan nikmat dari Tuhan.Amin!."
(hlm 20-21)


 
@htanzil


                                                               Who is My Santa?


Novel Memang Jodoh ini adalah pemberian my Secret Santa, sebuah ajang tukar kado antara sesama anggota BBI (Blogger Buku Indonesia) dimana seluruh peserta wajib merahasiakan jati dirinya kepada si penerima buku sedangkan si penerima buku juga wajib menebak siapa Santanya berdasarkan riddle/petunjuk yang dikirim sang Santa bersama dengan buku pemberiannya.

Siapa Santa baik hati yang mengirim novel ini padaku? Setelah pusing tujuh keliling dengan riddle yang diberikan akhirnya berhasil juga menebak siapa yang menjadi Santaku ini. Dan postingan kali ini merupakan posting bersama BBI yang menampilkan review buku hadiah dari Santa sekaligus posting tebakan siapa yang menjadi Santa-nya.

Nah sekarang mari kita pecahkan bersama-sama Riddle dari santa-ku




Berdasarkan riddle di atas, pertama-tama yang perlu dicermati adalah kata/kalimat yang bergaris merah yang merupakan petunjuk utamanya. Berikut tafsiran saya atas kata/kalimat bergaris tsb :

2 anak, lajang = berarti santa-ku ini statusnya masih lajang tapi punya 2 anak = karya/buku

Berarti Santa-ku ini seorang penulis buku. dan kata/kalimat bergaris itu adalah judul bukunya

Kenapa selalu aku = Why always Me
Positif, tak ada yang mustahil  = I'mpossible



Nah, kalau kita cari dua judul buku itu di goodreads maka kedua buku itu akan kita temukan, dan inilah cover buku dan nama penulisnya yang sekaligus menjadi Santa-ku kali ini.



Nah, jadi My Secret Santa-ku adalah Mrs.Orinthia Lee, penulis dua buku di atas dan pengelola blog buku Orinthia's Bookshelf

Nah, di kesempatan ini saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih untuk Santaku Orinthia Lee, terima kasih karena sudah memberikan novel Memang Jodoh  yang merupakan harta karun terpendam dalam dunia sastra Indonesia.

Sekali lagi terima kasih ya Orin... 

Keep Reading, writing, and blogging!

@htanzil

 

Sunday, 12 January 2014

Soeka-Doeka di Djawa Tempo Doeloe by Olivier Johannes Raap

[No. 325]
Judul : Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe
Penulis : Olivier Johannes Raap
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, 2013
Tebal : 189 hlm ; 17 x 22 cm
ISBN : 978-979-91-0649-0


Di era internet ini  mengirimkan kartu pos bergambar untuk menulis pesan singkat sekaligus menandakan kita berada di sebuah lokasi tertentu kini sudah mulai ditinggalkan. Alih-alih mengirim kartu pos yang harus kita beli, tulis, dan kirim dengan perangko kini orang lebih suka menggunakan media sosial (facebook, twitter, instagram, path, dll) untuk mengirim pesan sekaligus foto dimana kita sedang berada.

Tidak heran jika kini  kartu pos bergambar telah dilupakan orang, kini kartu pos jadi sekedar barang souvenir yang hanya ada di tempat-tempat tertentu dan dibeli oleh orang-orang tertentu juga. Namun sadarkah kita bahwa selembar kartu pos bergambar sebenarnya bisa menjadi alat rekam sejarah dan budaya di masa kartu pos tersebut dicetak?

Ya,  selembar kartu pos ternyata bisa mengenalkan kita pada sejarah dan budaya dengan cara yang menyenangkan. Melalui kartu pos bergambar kita bisa mengamati gedung-gedung, busana, permainan tradisional, kesenian, budaya pernikahan, dll saat kartu pos tersebut diproduksi

Lewat buku ini Olivier Johannes Raap, pedagang buku di Den Haag Belanda yang mengoleksi ribuan benda seni, buku, dokumen, kartu pos yang berkaitan dengan Indonesia masa lampau mengajak kita memasuki mesin waktu untuk mengunjungi Jawa di era 1900-an hingga akhir masa kolonial di tahun 1940an lewat 140 lebih lembar kartu pos bergambar yang dikoleksinya.

Kartu-kartu pos dalam buku ini dibagi ke dalam 10 kelompok yaitu Cantik & Tampan, Pernikahan, Keluarga Bahagia, Anak & Pendidikan, Si Kaya & si Miskin, Kesenian, Perayaan, Permainan, Manusia & Hewan, Pemakaman. Masing-masing kartu pos disertai tahun terbit, lokasi, fotografer, penerbit, serta narasi  yang mendeskripsikan tentang apa yang tampak dalam kartu pos tersebut.

Sebelum kita menikmati satu demi satu kartu-kartu pos dalam buku ini pembaca akan diantar oleh penulisnya untuk mengetahui sejarah kartu pos, dan hal-hal teknis mengenai kartu pos lawas seperti bagaimana menilai usia kartu pos, teknik pemotretan yang digunakan, mengidentifikasi fotografer, penerbit kartu pos, dll. Tidak itu saja, di bagian ini juga terdapat biografi singkat Kassian dan Sem Cephas, fotografer terkenal di masa kolonial yang banyak menghasilkan foto-foto tentang Hindia Belanda yang karya-karyanya digunakan dalam kartu pos bergambar dan buku-buku tentang Hindia di masa lampau

Di bagian ini  kita akan mengetahui bahwa kartu pos generasi pertama di Indonesia terbit pada tahun 1874 oleh pemerintah Hindia Belanda dengan ukuran 9x12 cm, tanpa gambar, dimana satu sisi untuk menulis surat, sementara sisi lainnya untuk menulis alamat dengan perangko yang telah tercetak. Kartu pos bergambar sendiri baru muncul pada tahun 1890-an dan saat itu barulah pengirim harus menempelkan perangkonya sendiri.

Kartu-kartu pos bergambar itulah yang dikoleksi oleh penulis dan diabadikan dalam buku ini. Kekuatan buku ini tidak hanya pada foto-foto kartu posnya saja melainkan juga pada narasinya yang begitu detail dan informatif dalam menafsirkan dan mendeskripsikan masing-masing kartu pos. Di sini penulis menjelaskan  pakaian yang dikenakan, gaya atau posisi orang dalam foto, ekspresi model hingga benda-benda yang tampak dalam setiap foto. Saking detailnya bahkan kancing baju yang copot-pun ternarasikan dengan baik.

Dari narasinya tersebut  kita bisa menilai bahwa penulis yang adalah seorang Belanda ternyata mengerti betul akan budaya Hindia di  masa lampau  yang tentunya hanya dapat ia pahami berdasarkan riset pustaka yang mendalam.

Lewat kartu-kartu pos yang terdapat dalam buku ini  ada banyak  hal-hal  yang menarik yang akan kita temukan seperti munculnya sosok orang kerdil pada kartu pos berjudul Pengantin Priangan (hl 51) yang terbit sekitar 1910

Ternyata kemunculan orang kerdil ini mempunyai maksud tertentu. Dalam narasinya penulis menjelaskan bahwa

"Di kediaman bupati atau keraton, orang kerdil menempati posisi istimewa di antara para abdi. Mereka dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat digunakan untuk berbuat baik atau jahat. Rombongan orang ningrat tidaklah lengkap tanpa adanya orang kerdil"  (hlm 51)

Di bagian kesenian, kita akan melihat bahwa ternyata pada tahun 1920-an gadis-gadis pribumi berkebaya ternyata sudah mahir bermain alat-alat musik barat seperti banyo, gitar, mandolin dan biola.



Lalu ada pula kartu pos dengan cap pos tahun 1904 yang berjudul Anak Band yang menampilkan sekelompok anak remaja dengan alat musik gesek (biola) dan perkusi.



Pada bagian Perayaan kita akan mengetahui bahwa tradisi menghias mulut jalan (gapura) disetiap tanggal 17 Agustus beserta lomba-lomba khasnya ternyata berawal dari peringatan naik tahtanya Ratu Willhemma yang pada jaman kolonial diperingati setiap tahunnya.



"Kartu pos ini memperlihatkan hiasan di jalan umum di Solo dalam rangka naik tahtanya Ratu Willhelmina, tgl 8 September 1898. Tahun-tahun selanjutnya tanggal ulang tahun Ratu Willhelmina 31 Agustus dirayakan sebagai hari raya nasional. Di semua kota, jalanan utama dihias dan pesta rakyat dengan permainan-permainan tradisionalnya diselenggarakan. Karnaval keliling kota yang diikuti berbagai komunitas dan kelompok drum band juga diadakan... Setelah Indonesia merdeka tradisi ini diteruskan dan tetap diadakan setiap tanggal 17 Agustus untuk merayakan Hari Kemerdekaan." (hlm 139)

Di bagian kesenian kita akan menemukan suatu hal yang membanggakan dari pemain akrobat pribumi di tahun 1910-an yang beantraksi hingga mancanegara seperti yang terungkap lewat kartu pos ini



"Sundi, Siwil, dan amat adalah tiga pemain akrobat berskala internasional. Pada 1904 trio tersebut dikontrak oleh sirkus di Belanda (Poeze 2008, 18) dan tahun-tahun berikutnya, mereka berkeliling di Eropa dan beraktrasi antara lain di Berlin, Paris, dan St. Petersburg (De Postrijder 22/07/1911,4)"

Tentunya kita masih ingat tentang Topeng yang beberapa waktu yang lalu sempat ramai jadi perbincangan karena sejumlah Pemkot melarang pertunjukan topeng monyet di jalana. Ternyata kehadiran seni topeng monyet ini telah lebih dari seratus tahun yg lalu ada di Nusantara  tepatnya sejak zaman Hindia Belanda  seperti pada kartu pos yang terbit sekitar tahun 1900 ini. Dalam narasinya dijelaskan bahwa kesenian topeng Monyet ini berasal dari India, dan dalam kartu pos ini terlihat bahwa yang memainkannya adalah seorang India dengan topi sorbannya. 


Setelah kita menikmati suguhan kartu pos-kartu pos lawas, sebagai penutup sebuah epilog berjudul Relasi Kebudayaan, Lalu dan Kini ditulis dengan menarik oleh Cahyadi Dewanto, fotografer dan pengajar di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung) yang sejak 2005 mengerjakan proyek foto dokumenter  Kassian Cephas: "Jejak-jejak Sang fotografer Kassian Cephas"

Selain itu ada juga bonus dari penerbit berupa dua buah kartu pos sungguhan dengan foto repro dari kartu pos lawas yang terdapat dalam buku ini.



Masih banyak hal yang menarik yang dapat kita lihat dan pelajari dari kartu pos- kartu pos dalam buku ini, sayangnya walau foto yang disajikan tampak tajam dengan sapuan warna sephia untuk menambah kesan lawasnya  ukuran foto-foto dalam buku ini tampak terlalu kecil ( 11cm x 7 cm). Hal ini tentu saja membuat pembaca kurang maksimal dalam menelaah tiap-tiap kartu pos karena detail-detail dari masing-masing kartu pos seperti yang dinarasikan penulisnya di buku ini menjadi tidak terlihat.

Untuk sebuah buku foto memang idealnya dicetak dalam ukuran buku yang besar seperti buku pertama penulis, Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe, Galang Press 2013 sehingga foto-fotonya dapat terlihat dengan jelas. Buku ini dibuat dalam format yang lebih kecil sehingga otomatis foto-fotonya ikut mengecil. Sebenarnya bisa disiasati dengan pemuatan foto sehalaman penuh dan narasi di halaman sebelahnya seperti yang terdapat di halaman pembuka untuk masing-masing bab. Namun jika semua foto tersaji seperti itu tentunya buku ini akan menjadi lebih tebal sehingga otomatis harganya menjadi lebih mahal.

Mungkin karena pertimbangan ekonomislah maka buku ini dibuat demikian. Di satu sisi memang harga buku ini menjadi lebih terjangkau sehingga bisa terakses oleh lebih banyak pembaca, namun di sisi lain pembaca akan merasa kurang maksimal dalam menelaah setiap foto kartu pos yang ada di buku ini.

Yang juga disayangkan adalah tidak adanya lampiran profil fotografer dan penerbit seperti yang terdapat di buku  Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe padahal dengan adanya profil fotografer dan penerbit akan membuat buku ini menjadi lebih informatif khususnya bagi pengamat foto2 lawas.

Satu hal yang juga menjadi temuan saya ketika membaca buku ini adalah perbedaan antara  foto Perempuan Betawi  (hlm 39) karya Tio Tek Hong di buku ini dengan foto kortu pos dengan gambar yang sama di buku Oud Bandoeng dalam Kartu Pos by Sudarsono Katam, Khazanah Bahari, 2009.  (hlm 290)


Foto sebelah kiri adalah kartu pos yang terdapat di buku Soeka Doeka Djawa Tempo Doeloe dengan judul Groet uit Batavia dan penulis memberi judul kartu pos ini Perempuan Batavia , sedangkan kartu pos sebelah kanan  yang terdapat di buku Oud Bandoeng Dalam Kartu Pos by Sudarsono Katam berjudul Groet alt de Preanger dan Sudarsono Katam memberi keterangan foto ini sebagai Gadis Priangan. Mana yang betul? 


Terlepas dari hal diatas kehadiran buku ini sangat baik untuk diapresiasi oleh mereka yang ingin mengetahui sejarah dan budaya di Jawa pada masa silam. Kartu-kartu pos bergambar dalam buku ini  menyadarkan kita semua bahwa sepotong kertas kecil, tipis, dan bergambar itu dapat merekam sejarah, budaya, dan suka duka kehidupan manusia di masa lampau.

Apa yang dilakukan oleh penulis dalam mendokumentasikan lembaran-lembaran usang kartu pos dan membagikan apa yang dimilikinya kepada masyarakat Indonesia melalui buku ini sangat patut dihargai dan diberi acungan dua jempol sekaligus.

@htanzil

Tags