Latest News

Wednesday, 12 March 2014

Santo dan Sultan by Paul Moses

[No.329]
Judul : Santo dan Sultan - Kisah Tersembunyi Tentang Juru Damai Perang Salib
Penulis : Paul Moses
Penerjemah : Adi Toha
Penerbit :  Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Desember 2013
Tebal : 440 hlm
ISBN : 978-602-9193-40-4

Perang Salib adalah salah satu perang antar umat beragama (Islam dan Kristen) yang paling besar yang pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Perang Salib yang berlangsung selama dua abad (1095-1291)   ini pada hakekatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Perang ini dimulai pada 1095 ketika Paus Urbanus II  menyerukan Perang Salib guna merebut  Yerusalem yang dikuasai oleh pasukan Muslim. Pasukan Kristen berhasil merebut Yerusalem pada 1099,  tetapi mengalami pukulan telak ketika Sallahudin mengambil alih kota suci itu delapan puluh delapan tahun kemudian. Dalam dekade berikutnya, paus demi paus meluncurkan satu persatu upaya militer yang gagal untuk untuk merebut kembali Yerusalem.

Pada 1219. Di terngah kecamuk Perang Salib V berlangsung. Fransiskus, (yang kelak menjadi seorang Santo) dari Asisi menyeberangi garis pasukan Muslim untuk menemui Sultan Malik al-Kamil di kamp-nya di tepi Sungai Nil guna menawarkan perdamaian. Fransiskus yang pernah menjadi seorang tentara Perang Salib, tidak asing lagi dengan kekejaman manusia dalam peperangan, ia tahu betul akan penyiksaan dan mutilasi yang dilakukan kedua pasukan terhadap orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Sadar akan segala resiko yang bakal dihadapinya ia dan rekan seperjalannnya Bruder Illuminatus tetap pergi menemui Sultan.

Sang Sultan berkenan menemui Fransiskus, tidak hanya menemuinya bahkan terjadi sebuah dialog damai antara Fransiskus, Sultan dan para pasukannya, sayangnya apa yang diinginkan Fransiskus tidak tewujud. Setelah pertemuan itu Perang Salib terus berkecamuk dengan hebatnya. Namun pertemuan sang Santo dan Sultan itu menciptakan sebuah hubungan yang baik antara sang Santo dan Sultan, keduanya saling  menghormati dan mengagumi. Pertemuan itu juga mendorong sebuah gagasan revolusioner bagi Fransiskus dan ordo Hina Dina yang dikembangkannya.

 
Francis and The Sultan (1901) karya Arnoldo Zoocchi 
di Gereja St Joseph, Kairo-Mesir

Sekembali dari pertemuan, Fransiskus menganjurkan pengikutnya agar hidup damai dengan umat Muslim jika memang ingin mengabarkan injil di dunia Arab. Sebuah anjuran yang sangat tidak populer karena di masa itu telah terbentuk sebuah paradigma bahwa untuk mengubah keyakinan suatu bangsa haruslah melalui peperangan.  Gagasan itu tidak mendapat restu dari Paus sehingga tidak heran kisah pertemuan dan gagasannya itu tidak bergema di kalangan Kristen pada masa itu.

Seiring berjalannya waktu, kisah pertemuan Sang Santo dan Sang Sultan lambat laun semakin menguap, informasi resmi dari sumber-sumber sejarahpun sangat sedikit yang menceritakan peristiwa tersebut hingga akhirnya Paul Moses mencoba menggali berbagai literatur sejarah guna mengungkap kembali perihal diplomasi damai antara Sang Santo dan Sang Sultan hingga akhirnya pada 2009 terbit sebuah buku berjudul Saint and the Sultan : The Crusades, Islam, and Francis of Assisi's Mission Peace ketika Perang Teluk yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah Perang Salib di abad modern ini sedang berkecamuk.

Dalam bukunya ini Paul Moses tidak hanya mengungkap kembali peristiwa bertemunya Sang Santo dan Sultan dan bagaimana dahsyatnya Perang Salib yang menelan banyak korban.  Lebih dari itu di buku ini kita bisa membaca kisah kehidupan dua tokoh itu. Dari Fransiskus kita bisa melihat bagaimana pertobatannya dari seorang tentara menjadi seorang biarawan yang menemukan makna dari kemiskinan, makna kehidupan sederhana dan keras dalam pengabdiannya kepada Yesus. Fransiskus kelak mendirikan ordo Hina Dina yang  pertahankan kemurnian ajarannya yang mengutamakan kesederhaaan secara ekstrim dan perdamaian dalam menjalankan misi ordonya.


Walau dikenal sebagai seorang biarawan yang taat dalam keimanannya, di buku ini juga terungkap bahwa Fransiskus memiliki sikap yang terbuka terhadap umat Muslim. Setelah kunjungannya ke perkemahan Sultan ia terkesan oleh kumandang azan dan bagaimana prajurit Muslim bergegas meninggalkan semua aktifitasnya untuk bersembahyang menghadap ke Mekah. Ia tidak sekedar mengaguminya namun ia juga ingin menghadirkan kesungguhan dan kepatuhan yang sama ke dalam dunia Kristen. "Jika semua orang di dunia ini membungkuk damai dalam doa, era perdamaian tidak jauh lagi", demikian ujar Fransiskus

Melalui  kehidupan Sultan Al-Kamil yang adalah keponakan dari Salahudin (Pahlawan Perang Salib di pihak tentara Muslim)  kita melihat bagaimana di masa remajanya, di saat Perang Salib III  al-Kamil dinobatkan sebagai ksatria di Acre oleh ksatria Perang Salib Richard si Hati Singa. Satu hal yang menarik adalah bagaimana Sultan al-Kamil juga sesungguhnya seorang raja yang mencintai perdamaian, selama Perang Salib V ia mengajukan beberapa kesepakatan damai guna mengakhiri Perang Salib. Buku ini juga mengungkap sosok Sultan al-Kamil yang oleh kalangan Kristen dianggap sebagai sultan yang bengis ternyata seorang Sultan yang murah hati. Di akhir Perang Salib V sebelum membebaskan tentara Kristen yang menjadi tawanan perangnya ia menjamu para tawanan yang hendak dibebaskannya dalam jamuan makan yang mewah dan melimpah.

Di bagian akhir buku ini, penulis juga mengungkapkan bagaimana kisah misi perdamaian dan biografi Fransiskus dikaburkan dari makna perdamaian demi melindungi mimpi-mimpi Perang Salib dari para Paus, contohnya pada 1266 The Mayor Legend of Saint Francis karya Bonaventura dinyatakan sebagai biografi resmi Fransiskus. Biografi sebelumnya yang ditulis oleh penulis lain dimusnahkan sehingga  hanya ada dua salinan dari riwayat kehidupan Fransiskus sebelum karya Bonaventura yang selamat hingga kini.

Walaupun kisahnya telah berubah dan dilupakan orang namun benih-benih perdamaian Fransiskus yang jatuh di tanah yang berbatu tetap bertunas. Gagasan Fransiskus agar umat Kristen untuk hidup damai dengan umat Muslim akhirnya terwujud secara resmi dalam Konsili Vatikan Kedua pada 1965 dengan dikeluarkannya Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen atau Nostra Atete, Pada Zaman Kita yang menyatakan bahwa Gereja Katolik sangat menghargai umat Islam.

Paus Yohanes Paulus II kemudian memperkokoh hubungan ini. Selain dengan menyatakan penghargaan kepada agama-agama bukan Kristen dalam surat ensilik pertamanya, seperti Fransiskus, dia menciptakan tablo perdamaian; antara lain dengan mengunjungi tempat -tempat suci umat Islam di Yerusalem yang pernah diperebutkan oleh Tentara Salib, menetapkan hari Doa untuk Perdamaian Sedunia yang diadakan di Asisi, kota kelahiran Fransiscus pada 26 Oktober 1986, mengunjungi Masjid Agung Bani Umayah di Damaskus pada 2001, dll

 Doa untuk Perdamaian Sedunia di Asisi, 1986

Sebagai sebuah buku yang memunculkan kembali kisah yang kini hanya samar-samar terdengar mengenai misi perdamaian yang diupayakan Fransiskus saya rasa melalui buku ini Paul Moses dengan riset sejarahnya yang mendalam berhasil mengungkap informasi perihal diplomasi damai antara Sang Santo dan Sang Sultan serta peristiwa yang melatarinya dengan sangat rinci, kontekstual, berimbang (tidak memihak), dan informatif. Bagi mereka yang tertarik dengan Perang Salib, buku ini bisa menjadi salah satu sumber literatur yang baik. Dan yang lebih  penting buku ini tampaknya mampu menggugah kesadaran pembacanya akan arti penting sebuah dialog antara umat bergama demi perdamaian dunia

Yang sangat disayangkan dalam versi terjemahan buku ini yang dilengkapi dengan 38 halaman catatan kaki, keterangan singkat tokoh-tokoh utama, kronologi, daftar singkatan, dan ratusan daftar pustaka ini tidak dilengkapi dengan indeks. Entah mengapa penerbit Alvabet tidak menyertakan indeks seperti di buku aslinya. Untuk sebuah buku sejarah indeks sangatlah diperlukan untuk memudahkan pembacanya mencari tokoh, peristiwa, atau apapun yang terkait dalam bahasan buku ini.

Terlepas dari itu melalui kisah Santo Fransiskus  ini dari upaya perdamaian yang dilakukannya di masa lampau kita dapat belajar bahwa jalan menuju perdamaian bukan hanya dapat dilakukan oleh penjabat pemerintah yang memimpin atas nama kita . Fransiskus mengambil inisiatif sendiri dengan memberanikan diri mengupayakan suatu hubungan pribadi dengan sang sultan. Perang lebih mungkin terjadi jika suatu masyarakat berjarak dari masyarakat yang lain dan saling mengutuk. Perdamaian akan mendapat kesempatan jika kesenjangan antar-masyarakat tersebut dijembatani melalui hubungan pribadi.

@htanzil

http://klasikfanda.blogspot.com/2013/11/history-reading-challenge-2014-sail-to.html

Tuesday, 4 March 2014

Bank Saudara 1906-2006 : Seratus Tahun Perjalanan Bank Urang Sunda

[No. 328]
Judul : Bank Saudara 1906-2006 - Seratus Tahun Perjalanan Bank Urang Sunda
Penggagas : Arifin Paniogoro
Editor : Yani Panigoro, et al
Penulis : Ahmad Irfan, Budi Syahbudin, Gindo S. Yaza
Penerbit : Yayasan Yusuf Panigoro (YYP)
Cetakan : I, 228 hlm ; Hardcover


Mengenali jejak dan peristiwa dari sebuah kota di masa lampau tidak harus melalui buku-buku literatur yang secara khusus membahas sejarah kota, ada beberapa  buku atau literatur lain yang bisa dijadikan pelengkap seperti majalah-majalah lokal, buku biografi, memoar tokoh lokal atau nasional, buku/booklet peringatan ulang tahun insitusi/lembaga yang berdiri dan berkembang di kota tersebut, dll. Walau tidak membahas sejarah kota namun buku-buku tersebut biasanya memperkaya wawasan kita akan keadaan kota di suatu masa tertentu. Bahkan tidak jarang banyak hal-hal  menarik yang mungkin terlewatkan di buku-buku yang secara khusus membahas sejarah kota.  

Buku Peringatan 100 tahun Bank Saudara  ini adalah salah satu buku dimana kita tidak hanya membaca tentang sejarah berdirinya bank ini melainkan dapat juga tentang kota Bandung  karena bank ini berkaitan erat dengan para saudagar batik yang dulu berdagang di Pasar Baru Bandung yang kemudian mendirikan sebuah perhimpunan yang menjadi cikal bakal Bank Saudara yang hingga kini di usianya yang ke 107 tahun masih beroperasi dan merupakan bank swasta tertua di Indonesia.

Buku yang dicetak dengan kemasan hardcover yang menawan, dicetak dengan kertas mewah dan dilengkapi foto-foto klasik yang dilay-out dengan  baik ini merekam sejarah panjang berdirinya Bank Saudara yang pada 2006 yang lalu merayakan ulang tahunnya yang ke 100.

Buku ini diawali dengan kisah sepuluh orang saudagar batik Pasar Baru Bandung yang mendirikan sebuah perkumpulan simpan pinjam yang bernama Himpoenan Soedara (HS) pada 18 April 1906 dengan tujuan untuk saling membantu dalam membeli kain batik yang saat itu menjadi salah satu komoditas utama di Bandung. Mulanya pengukuhan HS tidak disertai ikatan hukum, kecuali perjanjian bermaterai di bawah tangan. Saat itu setiap orang diwajibkan. menyimpan uang sebanyak 10 gulden setiap bulan, yang tidak bisa diambil selama 5 tahun. Simpanan ini difungsikan untuk tambahan modal bagi usaha yang mereka rintis.

Pada tahun 1913 barulah perhimpunan ini memiliki asas legalitas dengan disahkannya sebagai badan hukum dengan nama Vereeniging Himpoenan Soedara. Setelah itu berangur-angsur secara sesuai dengan perkembangan zaman dan peraturan lembaga keuangan yang berlaku maka pada tahun 1974 Perkumpulan Himpunan Saudara bubar dan menjadi perseroan terbatas sehingga namanya menjadi PT Bank Tabungan Himpunan Saudara 1906. Pada1993 statusnya berubah lagi dari bank tabungan menjadi PT Bank Himpunan Saudara 1906 hingga akhirnya di tahun 2006 di usianya yang ke 100 bank ini merubah logo dan namanya menjadi Bank Saudara dan pada April 2006 Bank Saudara tercatat di Bursa Efek Jakarta sebagai perusahaan terbuka.

Buku ini juga menceritakan suka duka perjalanan Bank Saudara yang ternyata penuh dengan tantangan akibat kondisi perekonomian dan politik di Indonesia saat itu seperti krisis ekonomi dunia tahun 1929-1933, peristiwa Bandung Lautan Api pada 1946, tindakan moneter pemerintah yang dikenal dengan sebutan "Gunting Syarifudin", dll.

Bank ini pernah pula mengalami krisis likuiditas pada tahun 1987-1989 dimana saat itu sejumlah tokoh dan pengusaha Jawa Barat 'turun gunung' untuk menopang Bank yang disebut-sebut sebagai bank-nya Urang Sunda.  Secara bahu membahu mereka berusaha agar bank ini dapat memenuhi kewajiban menyetor Rp. 250 jt kepada Bank Indonesia. Dan di tahun 1990 Arifin Paniogoro (pengusaha) yang juga keturunan dari salah satu pengurus  Himpunan Saudara  ini menyelamatkan bank ini dengan suntikan modalnya sehingga semenjak itu Arifin Panigoro menjadi pemegang saham utamanya. Ketika badai krisis moneter terjadi Indonesia di tahun 1997-1998 bank ini nyaris dilikuidasi oleh Bank Indonesia sebelum akhirnya kembali Arifin Panigoro menyuntikkan dana segarnya  sehingga pada 1999 Bank ini terselamatkan karena telah  memenuhi rasio kecukupan modal sebesar 4% yang disyaratkan Bank Indonesia saat itu.

Seratus tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun Bank Saudara tampaknya mencatat seluruh perjalanannya dengan rapih.  Dokumen akta pendirian, arsip, buku asli laporan keuangan, buku peringatan ulang tahun ke 30, 70, dan dokumentasi berupa foto-foto menjadi sumbangan yang sangat berharga bagi penyusunan buku ini sehingga foto-foto yang bersumber dari materi-materi tersebut ikut menghiasi buku ini.

Yang patut diacungi jempol penyusun buku ini berhasil merangkum semua data dan dokumen yang ada menjadi sebuah buku peringatan yang tidak sekedar menyajikan data semata melainkan mengisahkan perjalanan panjang bank ini secara  menarik dengan kalimat-kalimat yang mudah dipahami seperti layaknya sebuah memoar. Foto-foto masa lampau yang tajam dan ilustrasi dalam buku ini juga  membuat pembacanya betah membacanya sehingga buku ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi.

Walaupun merupakan buku peringatan Bank Saudara yang dicetak dan diedarkan secara terbatas namun bukan berarti buku ini hanya bermanfaat dibaca oleh nasabah, pemilik,  atau mereka yang memiliki keterkaitan dengan Bank Saudara.  Buku ini perlu dibaca oleh siapa saja karena melalui buku ini kita diajak menyaksikan perjalanan panjang yang dilakukan para pendiri dan penerus bank dalam mengelola dan mempertahankan banknya. Jatuh bangunnya kondisi moneter Indonesia dari masa ke masa yang terekam dalam buku ini juga membuat kita bisa memahami apa yang terjadi seiring dengan perjalanan Bank Saudara.  Pengalaman-pengalaman Bank Saudara dalam melintasi zaman dengan berbagai kesulitannya ini menjadi selalu relevan untuk disimak dan dipelajari, terutama ketika siklus kehidupan perekonomian bangsa kita ini belum juga meraih kemapanan

Selain itu seperti diungkap di awal tulisan ini  melalui buku ini terutama di bab-bab awalnya kita juga diajak melihat situasi kota Bandung dan perekonomiannya dimana Bank ini lahir dari perkumpulan simpan pinjam para Saudagar Pasar Baru Bandung, berkembang dan akhirnya bermetamorfosis  menjadi salah satu bank swasta modern tertua yang kini masih berdiri kokoh di Indonesia.

Jadi bagi mereka yang mencintai Bandung, pemerhati kota Bandung, kolektor buku-buku bertema Bandung, buku ini layak untuk dibaca dan dikoleksi sebagai pelengkap buku-buku referensi kota Bandung. Tidak mudah mencarinya karena buku ini terbit 8 tahun yang lampau dan tidak dijual di toko-toko buku umum melainkan hanya beredar secara terbatas. Happy hunting! :)

@htanzil

Tags