Latest News

Sunday, 18 May 2014

The Ahok Way by Piter Randan Bua


































The Ahok Way by Piter Randan Bua

[No. 333]
Judul : The Ahok Way - Hidup adalah Kebenaran Mati adalah Keuntungan
Penulis : Piter Randan Bua
Penerbit : Inspiro
Cetakan : I, 2014
Tebal : 184 hlm
ISBN : 978-602-1315-07-01

Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa dengan Ahok, orang nomor dua (Wagub) di Provinsi DKI Jakarta kini sedang banyak dibicarakan orang. Gaya kepemimpinan dan sikapnya  yang pro rakyat, berani melawan arus, anti korupsi, dan sangat perduli pada rakyat jelata ini membuat  namanya sering muncul di media cetak dan elektronik dan ia juga dikenal sebagai pejabat dan politisi yang diharapkan dapat membawa perubahan di tengah kondisi bangsa yang carut marut akibat korupsi yang telah membudaya.

Apa yang dilakukan Ahok untuk menciptakan pemerintahan yang pro rakyat, bersih, bebas korpsi  tidaklah mudah, perlu idealisme dan keberanian. Jalan yang harus Ahok tempuh tidak mudah, penuh terjal dan berbatu namun  Ahok tak gentar karena baginya Hidup adalah kebenaran dan mati adalah keberuntungan. Lalu 'jalan' apa saja yang ditempuhnya selama ini?. Piter Randan Bua yang juga pernah menulis buku Berkaca pada Kepemimpinan Ahok - Sang Pemimpin yang Melayani, 2003  ini menjabarkan  6 jalan yang Ahok lalui yaitu :  Jalan Ahok dalam menegakkan kebenaran, pilihan politiknya, jalan mencegah korupsi dan menata birokrasi, jalan merajut keindonesiaan, jalan tentang kepemimpinan, jalan untuk bekerja bagi kepentingan rakyat.

Masing-masing jalan tersebut ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman Ahok baik pengalaman dari keluarganya, ketika menjadi anggota DPR, saat menjabat sebagai bupati Bangka Belitung,  hingga kini sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Dari pengalaman-pengalaman Ahok tersebut penulis mengolahnya menjadi tulisan-tulisan kontempelatif yang sehingga dengan membaca buku ini kita bisa melihat bagaimana buruknya negeri ini dan bagaimana Ahok berjuang tanpa gentar untuk memberbaiki ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi selama ia diberi kesempatan sebagai pejabat publik di negeri ini.

Dalam menegakkan kebenaran penulis mengungkapkan bagaimana Ahok memilih jalan lurus untuk menegakkan kebenaran dan konstitusi  ia  sadar bahwa ia harus melalui jalan yang terjal. Bagi Ahok jalan kebenaran yang terjal lebih baik dari pada jalan yang dianggap lurus tapi ujungnya menuju kematian (korupsi, menjual kebenaran dan keadilan, manipulasi, dll). Ahok tak mau menempuh jalan itu karena itu ia mengatakan, "Saya memilih taat pada konstitusi daripada konsituen, apapun resikonya".

Ahok sadar sesadar-sadarnya bahwa untuk berani hidup lurus dan benar di negeri ini berarti siap untuk mati. Tapi Ahok tidak takut mati. baginya mati karena menegakkan kebenaran dan memperjuangkan keadilan  adalah keuntungan.  Ia bahkan telah berpesan pada istrinya jika kelak nyawanya melayang karena apa yang diperjuangkannya


"Kalau saya sampai mati karena memperjuangkan kebenaran tolong saya dipulangkan dan dikuburkan di Belitung kalau mayat saya masih ditemukan, dan di atas batu nisan saya tulislah, "Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan"  
(hlm 30)

Ahok tidak takut mati karena menurutnya semua orang pasti akan mengalaminya.

"Orang benar dan penipu sama-sama akan mati. Masalahnya orang mau memilih mati sebagai pembohong atau sebagai orang benar. Tapi saya tidak mau mati konyol sebagai pembohong. Karena itu saya akan berusaha untuk hidup dan berbuat dalam kebenaran."  
(hlm 29)

Pada bagian yang membahas Jalan Ahok tentang pilihan politiknya, penulis mengungkapkan apa yang mendorong ia terjuan ke dunia politik, bagaimana  sikap  Ahok akan SARA, politik uang, serta bagaimana ia menentang arus political voice, cara berpolitik yang hanya mementingkan menang dalam pemilu dengan cara apapun termasuk money politik. Dalam berpolitik, Ahok menempuh  Prophetical Voice yaitu  sikap politik yang menyuarakan suara 'kenabian'  yaitu membawa misi pembebasan. Membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan serta mengayomi dan melindungi mereka yang tidak berdaya.

Dalam  mencegah korupsi dan menata birokrasi buku ini menjelaskan bagaimana  Ahok mencoba menjadi negarawan sejati, mencegah 'maling' jadi pejabat dengan cara memperbaiki sistem dan tatalaksana pemilu, bagaimana menghemat uang negara, dan bagaimana Ahok untuk melawan perilaku korup yaitu menjadikan dirinya sebagai pajabat.  Bisakah kaum minoritas seperti Ahok menjadi seorang pejabat? Bagi Ahok tidak ada istilah kaum mayoritas dan minoritas,


"Tidak ada kaum minoritas di bangsa ini dan tidak ada alasan seseorang menolak seseorang menjadi pemimpin karena agamanya di negara Pancasila, Indonesia tercinta. Bangsa ini seharusnya tak memiliki warga kelas dua, kelas tiga, dan seterusnya. Tak ada mayoritas ataupun minoritas. Siapapun berhak ikut membangun bangsa ini"
(hlm 96-97)

Menurut Ahok salah satu jalan yang paling efektif untuk melawan perilaku korup di negeri ini adalah menjadi pejabat,  menurutnya, "Jika pemimpinnya lurus maka orang yang dipimpinnya tak akan berani tidak lurus". Hal ini dibuktikannya ketika ia menjadi bupati di Belitung Timur dengan menerapkan sistem birokrasi yang bersih. Terbukti  birokrasi di wilayah yang dipimpinnya jadi wilayah bebas dari korupsi sehingga  mengantar dirinya menjadi salah satu dari 10 tokoh yang dianggap mampu mengubah Indonesia versi Majalah Tempo (ed. Desember 2006)
 
Dalam hal budaya korupsi dan politik uang  Ahok juga memulai dari bagaimana ia mendidik konstituennya sejak awal. Tidak seperti calon pejabat yang memberikan sejumlah uang atau kebutuhan pokok saat melakukan kampanye agar rakyat memilihnya. Ahok tidak memberikan apa pun kepada rakyatnya kecuali kartu nama dan nomor ponsel pribadinya. Cara ini ampuh karena kelak masyarakat memilihnya sebagai bupati Belitung Timur.


Masih banyak teladan lewat pengalaman Ahok yang bisa kita baca dalam buku ini seperti dalam hal merajut ke -Indonesiaan, tentang kepemimpinannya, dan bagaimana Ahok berkerja untuk kepentingan rakyat terlebih bagi orang-orang miskin, para petani, buruh, dan bagaimana pengalaman Ahok menegakkan HAM yang justru mendapat perlawanan dari institusi HAM sendiri. Semua itu terangkai dalam buku ini dengan baik sehingga membaca ke-6 jalan yang ditempuh Ahok ini  memberikan sebuah gambaran dari apa yang dialami Ahok sendiri beserta jalan terjal berbatu yaitu Indonesia  yang ia cintai.

Dengan membaca buku yini sosok Ahok terdeskripsikan sebagai seorang pemimpin yang membawa sebuah pengharapan. Sosok dan sepak terjang dalam memperjuangkan kepemimpinan yang bersih terlihat begitu luar biasa. Sayangnya buku ini tidak memberikan kegagalan atau kesalahan dari jalan yang ditempuh Ahok selama ini. Sebagai manusia biasa tentunya ia pernah gagal atau salah jalan, alangkah baiknya jika dalam buku ini juga dituliskan kegagalan atau kesalahan yang Ahok alami dan bagaimana ia menyikapinya sehingga pembaca tidak hanya melihat dari kebaikan Ahok saja melainkan juga dari kegagalan/kesalahan yang penah ia alami.

Terlepas dari hal itu sebagai sebuah buku tentang Ahok yang dikemas dalam lay out yang menarik plus puluhan foto-foto Ahok, dan ditulis secara kontempelatif ini ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Ada banyak quote-quote menarik yang bisa kita jadikan inspirasi untuk mengurai persoalan bangsa ini. Buku ini juga dengan jelas menampilkan dua sisi yang berbeda, satu sisi tentang kepemimpinan Ahok yang tegas, berani, jujur dan bersih, di sisi lain kebobrokan sistem birokrasi, sosial, dan politik Indonesia.

 Semoga dengan hadirnya buku ini akan menginsiprasi para pejabat, atau siapapun yang ingin mengubah negeri ini menjadi lebih baik lagi lsehingga kelak akan lahir pemimpin-pemimpin yang jujur, bersih, dan berani melawan ketidakadilan seperti yang diteladani Ahok lewat ke enam jalan yang ditempuhnya.

Selian itu tidak hanya bermanfaat bagi pembacanya, buku ini juga tentunya akan bermanfaat bagi Ahok sendiri, seperti kata penulisnya kehadiran buku ini juga akan menjadi kontrol bagi Ahok sekaligus akan menamparnya jika ia berpaling dari jalan kebenaran yang telah dipilihnya. Sanggupkah Ahok konsisten menempuh jalan itu? Waktu akan membuktikannya.

@htanzil

Daftar isi dari buku ini bisa dilihat di sini


Wednesday, 7 May 2014

Little Stories

[No.332]
Judul : Little Stories
Penulis : Rinrin Indrianie, Vera Mensana, Adeste Adipriyanti, Faye Yolody, Rieke Saraswati
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 2014
Tebal : 255 hlm
ISBN : 978-602-03-0190-7

Di ranah perbukuan tanah air, buku kumpulan cerpen merupakan salah satu genre buku fiksi yang turut mewarnai perkembangan dunia sastra kita. Secara umum ada dua jenis buku kumcer, yang pertama adalah kumpulan cerpen yang ditulis oleh satu orang saja, dan yang kedua cerpen-cerpen yang ditulis oleh beberapa orang lalu lalu dibukukan menjadi sebuah buku antologi cerpen dimana biasanya masing-masing penulis menyumbang satu cerpen saja. Nah, berbeda dengan dua jenis buku kumpulan cerpen yang umum beredar di dunia buku kita buku  Little Stories menawarkan sebuah perbedaan yang memberikan pengalaman baru dalam membaca sebuah kumpulan cerpen.

Seluruh cerpen dari buku  Little Stories  ini berasal dari sebuah kursus menulis untuk mengapresiasi para pembaca situs Fiksi Lotus yang dikelola Maggie Tiojakin. Kursus tersebut dibuka untuk lima orang yang terpilih setelah Maggie menyeleksi ceita pendek dari masing-masing calon peserta sebagai syarat mengikuti kursuf intensif Lotus Creative. Dari puluhan pendaftar akhirnya terpilih  lima penulis wanita yang berhak mengikuti kursus yaitu Rinrin Indranie, Vera Mensana, Adeste Adipriyanti, Faye Yolody, Rieke Saraswati

Selama kursus intensif selama dua bulan kelima penulis dengan berbagai latar belakang ini diberi tugas latihan menulis empat buah cerita pendek dengan tema kuliner/makanan, tema demonstrasi, tema prompter (kalimat awal yang telah ditentutukan, dan satu cerita pendek dengan tema bebas. Dari apa yang ditulis oleh kelima penulis inilah lahir buku  dengan cover indah karya Staven Andersen  dengan judul Little Stories yang berisi 20 cerpen  yang dibagi  ke dalam empat bagian sesuai dengan tema-tema yang telah ditentukan. Inilah yang menjadi pembeda dengan buku-buku kumpulan cerpen lainnya. Di buku ini kita akan melihat bagaimana sebuah tema dikisahkan oleh masing-masing penulis sesuai dengan gaya, kekhasan dan interpretasi dari masing-masing penulis.

Dari tema kuliner cerpen favorit saya adalah Brongkos Mertua karya Adeste Apriyanti. Sebuah kisah sederhana tentang anak dan mertua dimana sang menantu mencoba membuat masakan brongkos untuk mertuanya. Di cerpen ini makanan tidak sekedar tempelan tapi menjadi sentral kisah lengkap dengan tahapan-tahapan membuat brongkos. Yang menarik ending dari kisah ini bersifat terbuka (open ending) sehingga ketika kita selesai membacanya kita diberi kesempatan untuk mengakhiri kisahnya sesuai dengan imajinasi kita.

Cerpen Suzie (Rieke Saraswati) yang juga merupakan cerpen terpendek dalam buku ini juga menarik karena walau pendek cerpen ini menghadirkan tokoh yang sangat kuat karakternya sebagai seorang ibu yang berusaha menggantikan posisi suaminya yang telah meninggal dunia sebagai koki andal ditengah keluarganya. 
 
Untuk tema demonstrasi ada dua cerpen yang mencuri perhatian saya yaitu cerpen Teror di Kaki Bukit (Adeste Apriyanti) dan  Aparat (Faye Yolody)  Cerpen  Teror di kaki bukit mengisahkan tentang eksekusi lahan yang akan dijadikan sebuah mega proyek. Uniknya lahan yang akan dieksekusi dan siapa yang melakukan perlawanan atas eksekusi itu bukanlah tanah biasa dan bukan pendemo biasa. Walau berupa kisah khalayan namun di akhir kisah kita diajak melihat sebuah kenyataan akan keserakahan manusia. Sedangkan cerpen Aparat menjadi menarik karena pembaca diajak melihat keseharian seorang aparat yang selalu dianggap arogan, dibenci dan jadi sasaran ejekan, pukulan, dorongan oleh para pendemo sebenarnya hanyalah seorang ayah yang begitu mencintai keluarganya.

Membaca cerpen-cerpen dengan Tema prompter (kalimat awal yang telah ditentukan) juga memberi keasyikan sendiri karena semua cerpen di bagian ini dimulai dengan kalimat awal yang sama yaitu "Aku lemparkan buku itu ke sungai yang mengalir deras" atau "Ezra menghunus pisau dapur ke arahku". Karena dua kalimat yang ditentukan itu terkesan muram maka seluruh cerpen di bagian inipun merupakan cerpen-cerpen yang suram namun  seperti cerpen  Serunya Membunuh Orang Gila (Faye Yoloday) dimana dikisahkan sang tokoh utama yang memiliki seorang adik pecandu narkoba yang depresi sehingga kerap mengancam dan  melukai kakaknya sendiri. Atau cerpen Sang Ilalang (Rinrin Andrienie) tentang kenangan persahabatan yang tertuang dalam sebuah buku harian.                                                    
              
Setelah tiga bagian dimana penulis diasah kreatifitasnya membuat cerpen yang telah ditentukan temanya, di bagian akhir buku ini barulah tiap penulis mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi kemahirannya membuat cerpen dengan leluasa tanpa dibatasi tema atau apapun.

Di bagian ini cerpen pilihan saya jatuh pada cerpen karya Vera Mensana, Berdua Saja. Cerpen  yang  menarik tentang seorang ayah yang mencoba mengutarakan maksudnya untuk menikah kembali kepada anak laki-lakinya yang masih kecil di sebuah kedai bakso.Sebuah kisah sederhana namun menyentuh tentang masa lalu keluarga mereka yang suram dan bagaimana sebuah harapan baru ditambatkan pada kehadiran mama baru bagi sang anak. Cerpen ini semakin menarik karena penulis mencoba memasukkan unsur budaya Tionghoa-betawi yang manyatu dengan kisahnya.

 Sebagai sebuah buku kumpulan cerpen yang dihasilkan dari sebuah workshop menulis saya rasa semua cerpen dalam buku ini tidak bisa dianggap remeh. Walau ini adalah karya pertama mereka yang berhasil diterbitkan namun  karya-karya mereka sangat baik dan patut diperhitungkan sebagai penulis masa depan dalam ranah kepenulisan fiksi Indonesia. Saya sependapat dengan sebuah komentar tentang buku ini di sebuah media yang mengatakan bahwa;

"Membaca cerita-cerita di buku ini membersitkan harapan baru akan lahirnya penulis-penulis muda perempuan potensial dengan ide-ide yang segar dan membawa suara mereka masing-masing."

@htanzil

Tags